ULAMA DI PERSIMPANGAN JALAN

 



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Gelaran musyawarah nasional MUI ke-10 tanggal 25-27 November 2020 di Jakarta akan menjadi titik balik bagi optimasi peran ulama sebagai khodimul umat. Ulama berasal dari umat dan harus kembali kepada umat. Jangan sampai umat kehilangan induknya, hanya karena ulama meninggalkan umatnya.

 

Tema yang diangkat dalam munas MUI kali ini adalah Meluruskan Arah Bangsa dengan Washatiyatul Islam, Pancasila, serta UUD NKRI 1945 secara murni dan konsekuen. Semoga tema yang diangkat dimaksudkan untuk meluruskan arah bangsa sejalan dengan nilai-nilai mulia Islam. Sebab ulama tidak bisa dilepaskan dari Islam sebagai timbangan pola pikir dan pola sikapnya.

 

Jangan malah sebaliknya, ulama justru mengikuti arus sekulerisme yang tengah menjerat negeri ini. Ulama jangan sampai terjebak dalam tarik ulur politik sekuler di negeri ini. Faktanya memang ulama berada di persimpangan jalan, antara tetap istiqomah di jalan Islam atau larut dalam arus sekulerisme, antara berpegang teguH hanya kepada islam atau masih berharap kepada hukum buatan manusia.  

 

Washatiyatul Islam merujuk kepada terminologi ummatan wasatha sejalan dengan firman Allah : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.. (QS Al Baqarah : 143). Umatan wasatha adalah umat yang adil dan pilihan karena terbentuk kepribadian dari pelaksanaan ajaran Islam.  

 

Ulama adalah panutan bagi umatnya, sebab ulama adalah pewaris para Nabi. Ulama adalah orang yang sejatinya paling memahami persoalan keumatan dan mencarikan solusinya dengan metode ijtihad. Ulama adalah mereka yang hanya takut dan mengabdi kepada Allah, bukan yang mengabdi kepada selain Allah. Haram hukumnya seorang ulama mendukung penguasa sekuler yang anti agama (Islam).

 

Adalah pelajaran yang sangat berharga disaat Rasulullah menolak untuk bergabung dengan kekuasaan Kafir Quraisy, meski dijanjikan mendapatkan dunia yang banyak, dengan syarat Rasulullah mau menghentikan dakwah Islam di tengah masyarakat. Rasulullah sangat tahu bahwa kekuasaan kaum kafir Quraisy sangat bertentangan dengan Islam. Meski dengan pilihannya itu, Rasulullah dibenci dan dimusuhi. Rasulullah lebih mencintai dan mentaati Allah dari pada tunduk kepada manusia.

 

Ulama yang takut kepada penguasa atau yang mengetuk pintu-pintu istana adalah ulama yang dikecam oleh Islam. Sebab semestinya para penguasalah yang mendatangi pintu rumah atau masjid para ulama untuk menanyakan berbagai persoalan. Ulama yang mempermainkan agama dan fatwa demi mendapat dunia rezim adalah bentuk menjual agama dengan harga yang murah.

 

Hal ini sejalan dengan firman Allah : janganlah kamu menukarkan ayat-ayatKu dengan harga yang rendah, dan kepada Akulah kamu harus bertaqwa… (QS Al Baqarah : 41). Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepadaKu. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit (QS Al Maidah : 44).

 

Ulama sebagai pewaris para Nabi adalah penghubung antara informasi dari langit untuk disampaikan ke bumi. Maknanya, ulama adalah orang yang bertransaksi dengan Allah semata dalam menjalankan tugas keilmuwan dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Ulama bukanlah stempel penguasa.

 

Sebagai pewaris para nabi, ulama tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu yang bersumber dari wahyu. Siapa saja yang menguasai ilmu syar’i serta menghiasi keyakinan dan amal perbuatannya dengan ilmu tersebut layak disebut sebagai ulama pewaris para nabi.

 

Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu itu, ia mengambil bagian yang banyak (HR Abu Dawud).

 

Agama Islam bukan saja menghargai ilmu tetapi meletakkan ilmu dengan posisi yang sangat istimewa. Allah berfirman dalam banyak ayat al-Qur’an supaya kaum Muslimin memiliki ilmu. Keistimewaan tersebut tampak sekali dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang memerintahkan supaya mendalami ilmu.

 

Karena itu tugas besar ulama di negeri ini adalah meluruskan arah bangsa berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Syariah Islam adalah timbangan utama para ulama dalam membaca dinamika fakta yang terjadi di negeri ini. Ulama harus mampu membaca kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini dengan kaca mata syariah, bukan yang lain.

 

Produk perundang-undangan yang berakar dari sistem demokrasi sekuler harus menjadi perhatian secara serius jika ingin mewujudkan upaya untuk meluruskan arah bangsa ini. Sekulerisme adalah ideology  yang justru telah memisahkan antara agama dan kehidupan. Itulah mengapa banyak produk perundang-undangan yang justru merugikan rakyat dan menguntungkan segelintir oligarki ekonomi dan politik.

 

Pengurus baru MUI hasil Munas ke 10 ini sudah seharusnya konsisten memujudkan fatwa tahun 2005 tentang haramnya liberalisme, pluralisme dan sekulerisme. Jika benar ingin meluruskan arah bangsa, maka ulama mesti mengarahkan dan meluruskan agar umat dan negara ini tidak terjerumus kepada kehidupan yang liberalisme, sekulerisme dan pluralisme.

 

Tentu saja meluruskan bangsa berkaitan erat dengan semua aspek kehidupan berbangsa seperti politik, ekonomi, pendidikan, budaya, sosial dan lainnya. Ekonomi kapitalistik yang tengah mendera bangsa ini telah mengakibatkan kemiskinan terstruktur mesti menjadi kritik para ulama atas negara ini. Pendidikan sekuleristik yang telah melahirkan generasi amoral telah menanti perbaikan dari para ulama.

 

Budaya hedonistik tak kalah kritis di negeri ini, maka ulama memiliki amanah besar meluruskan dan memperbaiki negeri ini agar sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh wahyu. Politik pragmatis yang telah melahirkan banyak koruptor harus menjadi perhatian serius dari pala ulama. Sebab negeri ini akan runtuh jika dipimpin oleh penguasa yang tidak amanah, namun justru mengkhianati amanah umat.

 

Ulama pewaris nabi adalah mereka yang rela menerima celaan, hinaan dan intimidasi  demi mempertahankan kemurniaan Islam dan membela kepentingan kaum Muslim. Ulama pewaris nabi bukanlah mereka yang plintat-plintut dalam berfatwa, menyembunyikan kebenaran, menukar kebenaran dengan kebatilan, serta mengubah pendirian hanya karena kepentingan duniawi atau tekanan penguasa.  

 

Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali menyatakan, “Ulama terdiri dari tiga kelompok. Pertama: Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang dengan terang-terangan mencari dunia dan rakus terhadap dunia. Kedua: Ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang menyeru manusia kepada Allah lahir dan batin. Ketiga: Ulama yang membinasakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Mereka adalah ulama yang mengajak ke jalan akhirat dan menolak dunia secara lahir, tetapi dalam batinnya ingin dihormati manusia dan mendapatkan kedudukan yang mulia. Karena itu perhatikan pada golongan mana Anda berada.” (Al-Ghzali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Juz III).

 

(AhmadSastra,KotaHujan,25/11/20 : 14.00 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.