MENUJU BANGSA BERAKHLAK



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Bangsa berakhlak adalah bangsa yang mampu menjawab tiga pertanyaan fundamental dengan benar. Ketiga pertanyaan itu adalah, dari mana manusia berasal, untuk apa hidup di dunia dan hendak kemana setelah mati ?.

 

Jawaban suatu bangsa atas ketiga pertanyaan tersebut sangat menentukan corak dan jati diri bangsa tersebut. Sebab pertanyaan pertama berkaitan dengan pengakuan atas eksistensi Tuhan. Pertanyaan kedua terkait erat dengan kepatuhan bangsa atas hukum dan aturan Tuhan. Sedangkan pertanyaan ketiga berhubungan dengan keyakinan akan hari pembalasan.

 

Suatu bangsa yang membentuk institusi negara tidak akan bisa melepaskan dari ketiga pertanyaan tersebut. Berakhlak atau tidak berakhlaknya suatu bangsa sangat bergantung kepada pemahaman, kesadaran, komitmen dan konsistensi atas pertanyaan tersebut.

 

Itulah mengapa sangat berbeda jati diri suatu bangsa yang menerapkan ideologi kapitalisme sekuler, komunisme ateis dengan yang menerapkan nilai-nilai Islam. Ketiga ideologi ini terkait erat dengan sikap atas eksistensi  Tuhan dan hukumNya. Islam mengakui Tuhan dan mematuhi hukumNya, sekulerisme mengakui Tuhan, namun tak mematuhi hukumNya, sementara ateis tidak mengakui keberadaan Tuhan sekaligus tidak mengakui hukumNya.

 

Dalam pandangan sistem nilai Islam, suatu bangsa atau manusia terdiri dari dimensi materi dan ruh. Dimensi materi merujuk kepada jasad atau fisik, sementara dimensi ruh merujuk kepada suatu kesadaran akan hubungan dirinya dengan Allah. Itulah mengapa konsepsi Islam tentang manusia sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di atas muka bumi.

 

Sebagai hamba Allah, Islam mengkonsepsikan manusia harus senantiasa memiliki kesadaran akan perintan dan larangan Allah dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsepsi khalifah bermakna manusia sebagai pengatur kehidupan dan alam semesta sejalan dengan blue print dari Allah.

 

Dari paradigma diatas itulah konsepsi akhlak itu bermula. Esensi akhlak adalah bagian reflaksi dari ketaqwaan. Sementara ketaqwaan adalah totalitas ketundukan kepada perintah Allah dan upaya menjauhi larangan Allah. Bangsa berakhlak adalah bangsa yang merefleksikan ketaqwaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Refleksi ketaqwaan yang melahirkan akhlak tentu tidak akan bisa diwujudkan jika suatu bangsa menerapkan sistem nilai sekulerisme yang justru menjauhkan rakyat dari nilai-nilai religiusitas. Dalam sistem sekuler, ketundukan rakyat atas Tuhannya justru seringkali dipersoalkan. Sementara dalam sistem nilai ateisme, ketundukan rakyat kepada Tuhannya justru dianggap candu atau penghalang kemajuan suatu negara.

 

Sementara dalam pandangan Islam semakin dekat rakyat kepada TuhanNya, maka akan semakin baik suatu bangsa bersangkutan. Rasulullah adalah contoh agung bagi pembangunan peradaban mulia berdasarkan nilai-nilai akhlak ini. Allah menegaskan bahwa Rasulullah memiliki keagungan akhlak. Rasulullah diutus juga untuk menyempurnakan akhlak seluruh bangsa.

 

Perjalanan kenabian Rasulullah adalah perjalanan pembelajaran, dakwah dan perjuangan untuk membangun peradaban agung yang sarat dengan nilai-nilai religius, menggantikan peradaban jahiliyah yang paganistik dan amoral. Beliau bukan hanya dikenal sebagai pemimpin duniawi, melainkan juga pemimpin agama sekaligus.

 

Hal ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama ritualistik semata, melainkan sistem kehidupan yang sempurna dan holistik. Islam mengajak kepada kehidupan yang agung di dunia dan kebahagiaan di akherat menggantikan sistem kehidupan yang sekuleristik.

 

Visi peradaban prophetik inilah yang mengantarkan Rasulullah memiliki peran sempurna dalam upaya merealisasikan Islam rahmatan lil’alamin sepanjang perjalanan dakwah putra Abdullah ini. Tidak mengherankan jika Michael D Hart, seorang cendekiawan Barat bahkan menempatkan Rasulullah sebagai urutan pertama tokoh dunia paling agung dan berhasil dalam menegakkan peradaban kemanusiaan.

 

Menurutnya, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa dalam hal dunia maupun agama. Dia sukses memimpin masyarakat yang awalnya terbelakang dan terpecah belah menjadi bangsa maju dan berakhlak mulia.

 

Akhlak adalah nilai yang konstruktif bagi perjalanan suatu bangsa, sebaliknya amoralitas bersifat destruktif bagi suatu bangsa. Kepemimpian yang jujur akan memberikan kebaikan bagi rakyat, sementara kepemimpinan yang korup akan merusak dan menyengsarakan rakyat. Sistem nilai Islam melarang manusia untuk berbuat buruk dan merusak kehidupan.

 

Allah mengingatkan dalam surat al A’raaf : 85, “ dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". Inilah karakteristik epistemologi Islam yang mengintegrasikan antara fenomena kosmos, sains dan teologis sekaligus.

 

Bangsa berakhlak yang lahir dari keimanan dan ketaqwaan mendapat jaminan keberkahan dari Allah. ‘Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya’. (QS Al A’raf : 96).

 

Sudah waktunya bangsa ini melakukan revolusi kesadaran menjadi bangsa yang berakhlak dengan berkomitmen atas keimanan kepada Tuhan untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab dengan kepemimpinan yang penuh hikmah sehingga terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,17/11/20 : 11.00 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.