PILKADA DI TENGAH PANDEMI, SEBUAH KONFIRMASI BETAPA JAHATNYA DEMOKRASI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Demokrasi kembali akan mengadakan hajatan yang biasa disebut sebagai pesta. Pesta demokrasi untuk memilih kepala-kepala daerah akan digelar akhir tahun 2020, tepatnya bulan Desember. Ironisnya, pilkada kali ini terlalu dipaksakan, karena dilaksanakan di tengah perkembangan covid-19 yang masih eksponensial.

 

Pilkada atau pemilu sebagai hajat dan perta demokrasi hanya akan menghasilkan pepesan kosong. Bukankah negeri ini telah ratusan kali melaksanakan pilkada, namun nasib rakyat tak juga berubah. Sementara covid-19 terus bertambah dan terbukti telah menelan banyak korban nyawa. Demi pepesan kosong, namun mengorbankan nyawa rakyat, betapa jahatnya demokrasi.

 

Bangsa ini juga masih sangat ingat ketika pemilu 2019 menelan tumbal hampir 700 nyawa. Hingga tulisan ini dibuat para korban pemilu itu belum diusut secara tuntas. Bisa jadi pilkada 2020 ini hanya akan mengulangi pemilu 2019, apalagi di tengah pendemi, mungkin akan banyak lagi korban nyawa karena terpapar virus.

 

Terlebih di negeri ini adanya tradisi konser untuk kampanye pemilu, meski hanya menghasilkan pepesan kosong. Konser tentu saja akan terjadi banyak kerumunan masa yang tak mungkin bisa dikendalikan. Betapa jahatnya demokrasi, namun anehnya di negeri ini masih banyak yang memuja demokrasi yang jelas-jelas telah merusak negeri ini.

 

Demokrasi adalah anak kandung ideologi kapitalisme sekuler yang bertumpu kepada keyakinan bahwa pragmatisme materialisme adalah tujuan utama hidup dan kehidupan. Miguel D Lewis mengatakan bahwa capitalism is religion. Banks are chrrches. Bankers are priests. Wealth is heaven. Poverty is hell. Rich people are sainst. Poor people are sinners. Commodities are blessings. Money is god.

 

Jefrey A Winter, pengamat oligarki di Indonesa, seorang profesor politik dari Northwestern University mengatakan bahwa tujuan utama politik di Indonesia adalah bagi-bagi (kursi). Bahkan istilah gotong-royong dan musyawarah mufakat juga dimaknai sebagai bagi-bagi kursi diantara segelintir elit. Bargaining bagi-bagi kursi ini bisa diekspresikan dengan senyum maupun dengan serem.

 

Winston Churchil menyatakan, “Democracy is worst possible form of government” (demokrasi kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerinthan). Abraham Lincoln “Democracy is government of the people, by people, by people, and for people”.

 

Dengan demikian politik demokrasi adalah sebuah katarsitas atas nafsu kekuasaan tanpa berpijak kepada nilai-nilai moral dan etika agama. Manusia memang secara genetik memiliki nafsu untuk berkuasa. Definisi demokrasi yang diajukan oleh Abraham Lincoln meniscayakan adanya pengabaian nilai-nilai spiritual dalam praktek berdemokrasi.

 

Demokrasi adalah kontestasi para pemburu harta dan tahta belaka. Siapa yang punya banyak modal, maka dialah yang akan melaju ke muka. Demokrasi hanya menghitung jumlah suara, tak peduli dengan isi kepala. Kecerdasan otak tak dibutuhkan demokrasi, tapi lebih butuh kepada tebalnya pundi-pundi materi.

 

Demokrasi yang berwajah sekuleristik secara terang-terangan menolak peran agama dalam pengelolaan negara. Akibatnya, manusia dijadikan sebagai sumber segala hukum dan pusat segala sesuatu. Hal ini sejalan dengan pameo demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

 

Sifat antroposentrisme dan antropomorpisme demokrasi telah melahirkan predator-predator politik. Predator politik demokrasi adalah manusia-manusia rakus yang berkuasa dengan kecurangan. Setelah berhasil mengangkangi kekuasaan, mereka lantas memperbesar perutnya dengan merampok harta rakyat. Sementara negara makin karut marut karena ketidakbecusan mengelola.

 

Orientasi materialisme dan pragmatisme politik demokrasi inilah yang akan melahirkan model kekuasaan otoriterisme yang abai terhadap nilai spiritual dan kemanusiaan. Fir’aun dan Qorun adalah fakta sejarah, dimana materi dan kekuasaan dijadikan tujuan hidupnya tanpa mengindahkan kuasa Tuhan dan kemanusiaan.

 

Indonesia darurat predator politik akibat penerapan demokrasi sekuler liberal. Predator itu berdiri mengangkang sebagai pendusta agama. Mereka secara sewenang-wenang mengubah undang-undang seenak nafsunya sendiri. Naifnya, para predator politik demokrasi adalah mereka yang rela menjadi jongos penjajah demi mengisi perutnya.

 

Predator politik demokrasi kerjanya hanya janji dan menipu rakyat yang memilihnya. Setelah mereka terpilih, maka mereka berubah menjadi budak dan jongos penjajah yang selama ini telah membiayai kampanyenya. Sementara rakyat hanya menjadi penonton sambil terus dicekik hingga mati terkapar.

 

Predator politik demokrasi adalah jongos penjajah yang kerjanya menipu dan menyengsarakan rakyat. Demi melancarkan proyek-proyek penjajah sebagai konvensasi jabatan, para predator politik rela mengorbankan rakyatnya terkapar dan sengsara. Bahkan, mereka tak peduli keselamatan nyawa rakyatnya demi menjalankan perintah juragannya.

 

Jadi secara genetik, demokrasi membawa kerusakan bagi negeri ini, sebab selain anti agama, demokrasi juga melahirkan kesengsaraan rakyat dengan sistem ekonomi kapitalismenya. Pilkada sebagai mekanisme untuk mempertahankan demokrasi hanyalah tipu-tipuan belaka yang berujung kepada kesengsaraan rakyat.

 

Betapa jahatnya demokrasi, hanya demi nafsu berkuasa dan memburu harta, hajatan ini tetap diselenggarakan meski di tengah pandemi. Apalagi jika pesta demokrasi ini diwarnai oleh berbagai konser kemaksiatan yang mengundang murka Allah. Selain itu kerumunan saat konser sangat berpotensi percepatan penyebaran virus corona.

 

Betapa jahatnya demokrasi.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,18/09/20 : 06.10 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories