KHILAFAH SEBAGAI FAKTA SEJARAH DAN KENISCAYAAN MASA DEPAN, BUKAN IMAJINASI

 


 

Oleh : Ahmad Sastra

Dosen Filsafat Islam

 

Alhamdulillah akhirnya penayangan film Jejak Khilafah di Nusantara berhasil, meski awalnya banyak halangan, itu biasa. Tercatat lebih dari 250 ribu orang menonton film ini pada tanggal 20 Agustus 2020 bertepatan dengan 1 Muharram 1442 H. Film besutan sejarawan muda Nicko Pandawa dan Septian AW ini telah membuka lebar lembaran sejarah yang selama ini masih nampak buram.

 

Film yang didasarkan oleh karya ilmiah berupa skripsi Nicko Pandawa yang tebalnya sekitar 500 halaman ini disajikan secara apik dalam sebuah film dokumenter. Nicko telah berhasil melakukan upaya penyajian sejarah dari tulisan kepada sejaran sebagai cerita visual. Penggalian situs sejarah hadirnya khilafah di Nusantara menjadi empiris karena artefaknya benar ada. 

 

Meskipun ada satu dua yang mengingkari kebanaran isi film tersebut, namun lebih banyak yang tercerahkan dengan film tersebut. Respons positif terus mengalir hingga sekarang dari berbagai kalangan, baik intelektual muslim, sejarawan muslim dan umat Islam pada umumnya. Jikapun ada sejarawan non muslim meragukan, itu wajar, sebab dia punya paradigma berbeda dalam memandang sejarah Islam.

 

Berbeda pendapat juga adalah biasa dalam dunia intelektual. Tentu saja Peter Carey yang nota bene non muslim ahli Jawa, bukanlah tokoh ahli khilafah. Sebab setiap orang punya keahliannya sendiri-sendiri. Sementara Azyumardi Azra sendiri secara sangat gamblang telah menulis hubungan erat antara ulama Nusantara dengan ulama di Jazirah Arab dalam bukunya : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia.

 

Islamic wordview sebagai pijakan paradigma (point of view) menjadi sangat penting dalam melihat sejarah. Dalam buku Api Sejarah misalnya, oleh Ahmad Mansur Suryanegara ditegaskan bahwa banyak terjadi upaya mendistorsi fakta sejarah Indonesia. Sudut pandang nasionalisme telah mengikis peran ulama dan kaum muslimin dalam penulisan sejarah kemerdekaan negeri ini. Ada semacam pengaburan dan penguburan sejarah.

 

Apalagi jika menjadikan sudut pandang penjajah secara takaran sejarah negeri ini, maka para pejuang yang melawan penjajah bahkan dicap sebagai pemberontak. Pada zaman Belanda, para ulama yang melawan penjajah disebut sebagai kaum ekstrim. Oleh para anteknya, penjajah Belanda disebut telah meninggalkan jasa yang baik di negeri ini. Begitulah pentingnya paradigma sebagai takaran dan sudut pandang atas realitas sejarah negeri ini di masa lalu.

 

Secara logika sederhana, bagaimana masyarakat Indonesia kini bisa mayoritas muslim, sementara agama Islam pertama kali dibawa oleh Rasulullah SAW di Jazirah Arab. Ini logika sederhana. Sementara jika dibaca buku-buku sejarah datangnya Islam ke Indonesia, memang ada perbedaan, namun semua sepakat bahwa Islam telah disebarkan ke nusantara. Pandangan HAMKA berbeda dengan pandangan para orientalis, ya wajarlah.

 

Islam itu memang ajaran transnasional, kehadirannya untuk seluruh manusia di muka bumi.  Islam masuk Nusantara (Indonesia) pada abad ke 7 Hijriyah, dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke 7. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Uka Tjandrasasmita, Kedatangan dan penyebaran Islam).

 

Islam yang direpresentasikan oleh institusi khilafah  telah hadir di Nusantara jauh sebelum Indonesia lahir. Islam mampu mempengaruhi institusi politik yang ada saat itu. Hal ini nampak pada tahun 100 H (718 M). Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan dai yang mampu menjelaskan Islam. Ada jejak kuat antara khilafah dan nusantara yang tak mungkin dihapus. (Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia 2007 : 2).

 

Isi surat Raja Sriwijaya : Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang cucunya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kabur barus  yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, namun sekedar tanda persahabatan. Saya ingin anda mengirimkan kepada saya seorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya. 

 

Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambipun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M, Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha. (Ayzumardi Azra mengutip dari Ibnu Abi Rabbih, Jaringan Ulama, 2005 : 27-29).

Beberapa institusi politik Islam di Nusantara, diantaranya adalah : Kesultanan Islam Peureulak, Sumatera, berdiri 1 Muharam 225 H/12 November 839 M. Kerajaan Islam Ternate Maluku, berdiri tahun 1440 M dengan Raja Muslim Bayang Ullah, menerapkan Islam setelah menjadi Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin 1486 M.  Kerajaan Islam Tidore dan Bacan Maluku, banyak kepala suku Papua yang masuk Islam. Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjung Pura, Menpawah, Sintang dan Kutai. Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Palembang.

 

Institusi politik Islam lainnya yang berdiri di Nusantara adalah sebagai berikut :  Kesultanan Demak dan dilanjutkan kesultanan Jipang, kesultanan Pajang, kesultanan Mataram di Jawa. Kesultanan Banten dan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Di Nusa tenggara, penerapan Islam dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima.

 

Keislaman masyarakat Indonesia dengan demikian adalah jejak khilafah yang merupakan anugerah dari Allah bagi bangsa ini. Bahkan hingga sekarang masyarakat Amerika dan Eropa banyak yang antusias masuk Islam. Di Amerika dan Eropa banyak gereja yang kini beralih fungsi menjadi masjid, karena telah ditinggalkan oleh umat kristen. 

 

Mendengar istilah khilafah bagi kaum muslimin adalah sesuatu yang biasa, karena memang menjadi bagian dari ajaran Islam, sebagaimana seorang muslim mendengar istilah sholat, zakat, haji dan syahadat. Itulah mengapa, bab khilafah oleh para ulama klasik maupun modern dimasukkan dalam kajian fikih Islam, meski ada juga yang memaparkan dalam kajian sejarah.

 

Asal-usul kata khilâfah kembali pada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa. Al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H) mengungkapkan: fulân[un] yakhlufu fulân[an] fî ‘iyâlihi bi khilâfat[in] hasanat[in]; yang menggambarkan estafeta kepemimpinan. Hal senada diungkapkan oleh al-Qalqasyandi (w. 821 H). Salah satu contohnya dalam QS al-A’raf [7]: 142. Al-Qalqasyandi menegaskan bahwa Khilafah secara ’urf lantas disebut untuk kepemimpinan agung, memperkuat makna syar’i-nya yang menggambarkan kepemimpinan umum atas umat, menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya.

 

Dalam Buku Fikih Islam karya Haji Sulaiman Rasjid terdapat bab terakhir, bab 15 yang membahas kitab khilafah. Oleh Sulaiman Rasjid pembahasan khilafah dimasukkan dalam kajian fikih, meskipun khilafah itu juga tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah. Memasukkan kajian khilafah dalam fikih berkosekuensi kepada hukum-hukum syariah.

 

Karena itu, Sulaiman Rasjid menulis bahwa menagakkan khilafah Islam itu hukumnya fardhu kifayah. Fardhu kifayah maknanya adalah sesuai kecukupan. Ibarat mengurus jenazah, jika telah cukup diurus oleh 10 orang, maka yang lain gugur kewajiban, sebaliknya jika mayat itu belum ada yang mengurus, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ain.

 

Fardhu ‘ain maknanya kewajiban yang harus dilakukan oleh individu dan tidak bisa diwakilkan, seperti sholat. Bahkan dalam keadaan sakitpun, seorang muslim tetap harus menjalankan sholat fardhu lima waktu. Begitupun khilafah yang hukumnya fardhu kifayah yakni harus ada sebagian kaum muslimin yang menegakkannya.

 

Selain bab khilafah yang diletakkan di bab 15 (bab terakhir) buku Fikih Islam karya Sulaiman Rasjid ini juga membahas bab lainnya. bab-bab lainnya adalah taharah, salat, jenazah, zakat, puasa, haji umrah, muamalat, faraid, nikah, jinayat, hudud, jihad, makanan/penyembelihan, aqdiyah dan khilafah.

 

Ditulis oleh Sulaiman Rasjid di halaman 495 bahwa kaum muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah adalah fardhu kifayah atas semua kamu muslimin. Sulaiman Rasjid mengemukakan 3 alasan dalam bukunya terkait hukum mendirikan khilafah.

 

Pertama, ijma’ sahabat, sehingga mendahulukan permusyawaratan tentang khilafah daripada urusan jenazah Rasulullah SAW. Pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar menjadi khalifah, kepala negara Islam yang pertama sesudah meninggalnya Rasulullah SAW.

Kedua, tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban, misalnya membela agama, menjaga keamanan, dan sebagainya, selain dengan adanya khilafah. Ketiga, beberapa ayat Al Qur’an dan Al Hadist yang menyuruh umat Islam menaatinya, yang dengan tegas menjadi janji yang pasti dari Allah SWT. Sulaiman Rasjid mengutip firman Allah :

 

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik (QS An Nuur : 55).

 

Jadi betapa anehnya jika ada seorang muslim kemudian mengingkari khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam, padahal jelas ada dalam kitab fikih Islam. Bahkan ada juga yang mengingkari khilafah sebagai bagian dari sejarah Islam, padahal jelas ada dalam sejarah. Ada pula segelintir muslim yang justru menganggap khilafah sebagai ajaran yang berbahaya, padahal terbukti membawa rahmat bagi alam semesta.

 

Ada lagi yang aneh yang menyebutkan bahwa NKRI itu sudah berbentuk khilafah. Meskipun maknanya bahwa dia mengakui sistem khilafah, namun mengatakan Indonesia telah khilafah adalah kesalahan fatal, terutama secara epistemologi. Tiga esensi khilafah yakni penerapan syariah Islam kaffah, persatuan umat Islam sedunia dan dakwah ke seluruh penjuru dunia tak terpenuhi dalam bentuk NKRI yang faktanya justru menerapkan ideologi kapitalisme sekuler demokrasi.

 

Dalam timbangan filsafat, sangat mudah untuk menemukan term khilafah secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Khilafah juga sangat mudah ditemukan jejaknya secara normatif, historis, maupun empiris. Menyebut negara khilafah sebagai imajinasi lebih bermuatan sentimen dibanding argumen. Kesimpulan negara khilafah sebagai imajinasi juga lebih didominasi emosional, dibanding intelektual.

 

Al Qur’an mengenalkan istilah khalifah sebagai konsep kepemimpinan Islam untuk seluruh kaum muslimin di dunia. Disebut dengan istilah raja karena memimpin kerajaan. Disebut sultan karena memimpin kesultanan. Maka disebut khalifah karena memimpin kekhilafahan. Sederhana kan ?. Itulah mengapa para khalifah seperti Abu Bakar Syiddiq, Umar Bin Khathab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib memimpin sebuah institusi bernama khilafah. Begitupun khilafah Abbasiyah, Umayyah dan Usmaniyah.

 

Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.

 

Masalah Kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah perkara yang sangat penting. Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Siddiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.

 

Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur urusan manusia agar tertib sejalan dengan nash Al Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah perjalanan . Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat. Ulil Amri ditaati sepanjang dia taat kepada Allah dan RasulNya. Jika menemukan persoalan, maka Islam menganjurkan untuk kembali kepada Allah dan RasulNya.

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa : 59).

 

Ulil Amri menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya. Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan). Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.

 

Menjadi seorang muslim dan mukmin adalah menjadi orang yang dengan sadar harus melaksanakan segala hukum dan aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadi seorang muslim berarti siap untuk senantiasa terikat dengan ajaran Islam. Keterikatan semua sikap dan tingkah laku kepada Islam adalah konsekuensi keimanan kepada Allah SWT.

 

Islam adalah agama yang benar dan sempurna karena berasal dari Allah yang maha sempurna. Islam adalah pedoman hidup menuju keselamatan dunia akherat. Meninggalkan hukum dan peringatan Allah akan melahirkan kesengsaraan dan kesempitan hidup. Menerapkan hukum Islam secara total adalah melalui institusi politik bernama daulah, imamah atau khilafah.

 

Hal ini sejalan dengan peringatan Allah SWT : Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thaha : 124)

Rasululah adalah pemimpin teladan dalam Islam yang sepenuhnya berhukum kepada wahyu Allah dalam mengatur seluruh urusan manusia dan dunia, bukan dengan hawa nafsu.

 

Dengan demikian, dalam konteks hari ini, seorang pemimpin yang wajib kita taati adalah pemimpin yang mengatur sistem pemerintahannya bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist. Dengan kata lain seorang pemimpin muslim yang menerapkan Islam secara kaafah. Selain itu pemimpin itu juga harus seorang muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan memiliki kemampuan.

 

Sebagai seorang muslim sudah memestinya kita sadar sepenuhnya untuk terikat kepada aturan dan hukum Allah dalam bersikap dan bertindak sekecil apapun. Semua sikap dan tindakan kita semestinya didasarkan oleh dalil agar kita tidak terjebak kepada tindakan yang justru dilarang oleh Allah SWT.

 

Sebab semua tindakan yang kita pilih akan dimintai peratnggungjawaban kelak di akherat. Jika perbuatan kita dilandasi oleh niat lillah dan mengikuti sunnah Rasululah, maka kita telah beramal sholeh dan karenanya mendapatkan pahala dari Allah SWT.

 

Menjadi pemimpin atau atau mentaati pemimpin adalah perbuatan yang juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Kesalahan memilih pemimpin yang tidak menerapkan Islam secara kaffah akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Islam memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaaffah.

 

Udkhulu fissilmi kaafah. Kehidupan manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan jika diatur dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh keimanan dan ketaqwaan.

 

Hal ini sejalan dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).

 

Dengan demikian penguasa dan pemimpin yang tidak mendorong terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan Allah. Penguasa yang tidak menerapkan Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat, lebih dari itu kita tidak boleh memilihnya apalagi mentaatinya.

 

Maka dengan akal sehat, khilafah adalah sebuah keniscayaan, bukan imajinasi. Khilafah adalah sebuah keindahan dan kebaikan, bukan sesuatu yang berbahaya. Bahkan khilafah merupakan kewajiban yang rasional dan sebuah kebutuhan, bukan imajinasi yang menyesatkan. Sejarah khilafah adalah fakta, bukan imajinasi. Menegakkan kembali ada fardhu kifayah, bukan larangan. Tentu saja ini dalam sudut pandang syariah, bukan pemerintah.

 

Mendakwahkan Islam kaffah adalah fardhu ‘ain. Islam meliputi ajaran yang komprehenshif, holistik dan integral. Islam tidak bersifat sekuleristik. Islam itu ilmu dan peradaban, spiritual dan politik sekaligus, bahkan Islam itu tidak memisahkan antara agama dan negara. Mendakwahkan Islam kaffah tidak ada hubungannya dengan fundamentalisme apalagi radikalisme.

 

Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam.  Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah.  Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”

 

Menurut pandangan Sayyid Qutb dalam kajian tentang Islam dan ketatanegaraan. Islam merupakan agama yang realistik, yang membuktikan bahwa larangan dan nasehat saja tidak cukup. Juga membuktikan,  bahwa agama ini tidak akan tegak tanpa negara dan kekuasaan. Agama Islam adalah manhaj atau sistem yang menjadi dasar kehidupan  praktis manusia, bukan hanya perasaan emosional (wijdani) yang tersemat dalam hati, tanpa kekuasaan, perundang-undangan, manhaj yang spesifik dan konstitusi yang jelas”. (Tafsir fi Dhilal al Qur’an, Juz I hlm. 601).

 

Sejarah Islam, menururtnya, sebagaimana yang pernah ada, merupakan sejarah dakwah dan seruan, sistem dan pemerintahan. Tidak asumsi lain yang dapat diklaim sebagai Islam, atau diklaim sebagai agama ini, kecuali jika ketaatan kepada Rasul direalisasikan dalam satu keadaan dan sistem. (Tafsir fi Dhilal al Qur’an, Juz II hlm. 696)  “ Eksistensi agama ini merupakan eksistensi kedaulatan hukum Allah. Ketika kondisi asal ini ternafikan, niscaya eksistensi agama ini juga ternafikan. Yang menjadi problem utama di muka bumi sekarang bagi agama ini adalah berdirinya para taghut yang selalu melakukan perlawanan terhadap ketuhanan Allah dan merampas kekuasaanNya, kemudian dirinya diberikan otoritas untuk menetapkan peraturan perundang-undangan  untuk membenarkan dan melarang jiwa, harta dan anak “ (Tafsir fi Dhilal al Qur’an, Juz III hlm. 1216-1217).

 

Kewajiban menegakkan Khilafah ini telah menjadi ijmak para ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).  Imam al-Qurthubi menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah)  dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264). Imam an-Nawawi juga menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, 12/205).

 

Imam al-Ghazali menyatakan, “Kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteratuan dunia penting demi keteraturan agama. Keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para nabi. Karena itu kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 99).

 

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, “Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah,  bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

 

Imam al-Mawardi menyatakan, “Melakukan akad Imamah (Khalifah) bagi orang yang (mampu) melakukannya hukumnya wajib berdasarkan ijmak meskipun al-‘Asham menyalahi mereka” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyyah, hlm. 5).

 

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, “Ketahuilah juga, para sahabat Nabi saw. telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban terpenting karena mereka telah menyibukkan diri dengan hal itu dari menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami,  Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 17).

 

Imam asy-Syaukani menyatakan, “Mayoritas ulama berpendapat Imamah (Khilafah) itu wajib. Menurut ‘Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Muktazilah dan Asy’ariyah, Imamah (Khilafah) itu wajib menurut syariah (Asy-Syaulani, Nayl al-Awthâr, VIII/265).

Pendapat para ulama tedahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirin (Lihat, misalnya: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248; dll).

 

Jadi khilafah sebagai sistem pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara kaffah selain rasional juga merupakan kebutuhan dunia. Selain solusi atas krisis multidimensi dunia, khilafah juga merupakan refleksi keimanan seorang muslim. Memperjuangkan khilalah, insyaallah ibadah dan berpahala, sementara memperjuangkan demokrasi adalah maksiat yang penuh dosa.

 

[AhmadSastra,KotaHujan,15/09/20 : 09.00 WIB]

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.