Oleh : Ahmad Sastra
Deni Je, seorang pelukis dari Jogjakarta, bagi saya selalu memberikan pencerahan soal dimensi estetika karya seni rupa. Saya sendiri belum pernah bertemu langsung, namun saya sangat menikmati setiap karyanya, terutama di Painting Explorer Channel. Dalam setiap karyanya, pelukis dengan nama lengkap Deni Junaedi bukan saja menekankan kepada jalinan antara subyek dan obyek, namun sarat nilai.
Dimensi nilai, dalam kajian filsafat disebut aksiologi. Konstruksi berfikir filosofis ada tiga level, yakni ontologis, epistemologis dan aksiologis. Ekspresi filosofis ini bisa dituangkan dalam berbagai karya, termasuk seni di dalamnya. Seni dan seniman sesungguhnya tidak bebas nilai. Bahkan jikapun ada seniman yang ingin bebas sebebas-bebasnya, maka dia justru sedang terikat dengan nilai kebebasan itu sendiri.
Saya lihat, Deni Je bukan seniman sembarangan. Sebab karya-karyanya selalu berpijak dari pondasi berfikir yang fundamentar. Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa Deni Je adalah seniman pelopor RadicArt Kontemporer. RadicArt terdiri dari dua kata : radic yang artinya akar dan art yang artinya seni. Karya seni Deni Je bukan sekedar lukisan tanpa makna, namun bahwa diawali sebuah pemikiran mendalam sebelum berkarya.
Bahkan Deni Je kerap menyinggung soal kebenaran dalam karyanya, dimana kata kebenaran seringkali sesuatu yang asing di mata seorang seniman. Dalam kajian filosofis, kebenaran itu lahir dari sebuah kebenaran. Secara ontologis, kebenaran itu ada. Secara epistemologis, kebenaran itu mesti berasal dari sumber kebenaran. Secara aksilogis, kebenaran akan berdampak kepada karya yang benar dan berdampak kepada kesadaran akan kebenaran.
Orang Barat sendiri telah mengalami pesimisme kepada kebenaran. Heidegger, dalam the End of Philosophy, menggambarkan ‘akhir filsafat’ bukan dalam pengertian tidak ada lagi filsafat namun memiliki makna berakhirnya filsafat sebagai jalan metafisik. Akhir metafisis dimulai ketika klaim ontologi sebagai pondasi dunia realitas mengalami kemerosotan sehingga dunia realitas tidak lagi menggantungkan pendefinisian dirinya pada model-model kebenaran metafisik tersebut – logos, eidos, substansi, esensi Tuhan – melainakn oleh kebenaran dalam dunia itu sendiri.
Metafisika berakhir bukan karena kesempurnaannya (completion) melainkan karena kehabisan tenaga (exhaustion). Dengan habisnya bahan bakar metafisika, berlangsunglah proses keterputusan dari pondasi-pondasi metafisika tersebut, sehingga dunia menyandarkan pe,mbentukan realitasnya pada yang ‘ada di dalam dunia’ itu sendiri (being in the world), yang melaluinya makna eksistensi dapat ditafsirkan, bukan makna-makna yang disediakan oleh sumber-sumber metafisik. Inilah makna kematian atau ‘akhir filsafat’ itu bagi Heidegger.
Michel Foucault melihat ‘kematian’ dalam berbagai wacana (discourse) sebagai sebuah diskontinuitas (discontiunity). Foucault berbicara tentang kematian subyek (death of subject) sebagai akibat diskontiunitas dari wacana modernitas ke arah wacana lain, yang didalamnya peran subyek manusia menjadi minimalis. Peralihan manusia sebagai penguasa dunia menjadi pengguna semata dari wacana, menggiring pada kematian manusia dalam pengertian antropomorfisme Descartes untuk diganti dengan konsep manusia wacana yaitu manusia yang dibentuk di dalam dan oleh wacana.
Sementara Deni Je justru sebaliknya, dia telah menemukan kebenaran metafisik sebagai kebenaran hakiki yang menjadi ruh bagi setiap karya seninya. Ketika filsafat barat mulai jenuh atas pencarian eksistensi tuhan, sementara Deni Je justru telah melakukan ‘dialog seni’ dengan Tuhannya. Seniman yang juga seorang dosen ini justru selalu mengekspresikan keinginan Tuhan dalam setiap goresan di atas kanvasnya.
Ketika masih banyak seniman menuhankan liberalisme, Deni Je justru telah melalui sebuah jalan hijrah yang mengantarkannya pada sebuah kesadaran supraraasional.
Model berfikir itu minimal terbagi menjadi empat, natural, supranatural, rasional dan suprarasional. Berfikir natural itu cenderung dangkal karena hanya dilandaskan oleh obyek empirik. Sementara berfikir supranatural cenderung absurd, sebab mencoba menggapai obyek-obyek ghoib yang berada diluar kemampuan akal. Berfikir rasional cenderung berfikir mendalam, meskipun sering bersifat spekulatif. Dari berfikir rasional inilah filsafat lahir. Sementara berfikir suprarasional itu berfikir cemerlang, sebab memadukan antara akal dan wahyu.
Dalam perspetif seni rupa, karya lukis yang lahir dari pemikiran natural cenderung melukis apa adanya yang dilihat, tanpa banyak memikirkan soal epistemologi dan aksiologi. Seni rupa yang lahir dari pemikiran supranatural cenderung bersifat mistis, bahkan melukis obyek ghoib yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lukisan yang lahir dari pemikiran rasional cenderung kritis atas persoalan-persoalan sosial yang ada, meski tidak memberikan solusi yang fundamental.
Sementara lukisan yang lahir dari pemikiran suprarasional (cemerlang) akan memadukan antara subyek, obyek dan nilai sekaligus. Bukan hanya soal estetika, namun sarat akan makna. Lukisan suprarasional yang maknanya keterikatan kepada Tuhan bahkan secara etis tunduk kepada wahyu. Apa yang dilarang wahyu, maka tak dijadikan sebagai obyek lukisan. Dibalik karya lukis Deni Je inilah tersimpan estetika dan etika sekaligus, bahkan lebih dari itu, secara aksilogis mengandung nilai dakwah. Inilah yang saya maksud dengan istilah RadicArt.
Ada ruh di setiap goresan kanvas karya Deni Je dalam artinya ada hubungan batin antar subyek dengan Tuhannya. Sementara obyek yang dilukis didasarkan atas etika yang telah diwahyukan oleh Tuhannya. Dari sinilah lahir nilai yang dahsyat dari setiap karya lukis Deni Je. Nilai-nilai yang bisa saya tangkap dari karya lukis Deni Je adalah nilai kesadaran, kebenaran, kebangkitan dan bahkan peradaban Islam.
Bagi saya Deni Je layak disebut sebagai penenun RadicArt dari Jogja yang tiap goresan bentuk dan warna menyiratkan pesan kebenaran dari wahyu. Selain itu lukisan-lukisan Deni Je akan menumbuhkan kesadaran akan kebangkitan peradaban Islam yang telah lama hilang. Deni Je mencoba menemukan kembali peradaban Islam melalui seni lukis.
Nah, tanggal 4 sampai 11 Oktober 2020 bertempat di Geleri Khat Jogjakarta, Deni Je akan mengadakan pameran lukisan tunggal bertajuk The Sent Down Iron yang akan menampilkan lukisan-lukisan berkaitan dengan besi yang dihadirkan Allah ke muka bumi. Sebagian lukisan sudah saya lihat dan sangat bagus dan menginspirasi. Rugi rasanya jika tak hadir dalam pameran lukisan Deni Je. Sebab kita tidak hanya disuguhi oleh estetika sebuah karya lukis, namun lebih jauh kita akan disodorkan tentang makna dan nilai.
Selamat berpameran lukisan tungga buat Mas Deni je, semoga karya-karyanya makin mendunia sekaligus membangkitkan dunia menuju peradaban Islam yang gemilang.
(AhmadSastra,KotaHujan,08/09/20 : 09.00 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad