PSICORONA



Oleh : Ahmad Sastra

Merebaknya wabah corona yang kini telah menjadi pandemi global bisa berpotensi menimbulkan gejala depresi atau frustasi sosial. Bukan hanya soal berita-berita yang terus membanjiri sosial media terkait ganasnya coronavirus, namun juga bisa disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil.

Kebijakan social distancing, karantina berskala besar dan stay at home dengan tidak diikuti oleh pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh pemerintah berpotensi signifikan akan menimbulkan berbagai gejala kejiwaan abnormal. Belum lagi jika benar ditambah dengan kebijakan pembebasan para napi. Maka sempurnalah depresi sosial akibat corona.

Psicorona merujuk kepada kondisi kejiwaan masyarakat akibat merebaknya wabah corona karena berdampak dalam berbagai aspek kehidupan. Ancaman kematian akibat terinveksi coronavirus ditambah dengan kondisi yang serba kekurangan akan menimbulkan coronaphobia.

Secara etimologi, kata fobia/fo·bia/ n dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti suatu ketakutan yang sangat berlebihan atau irasional terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya [an anxiety disorder characterized by extreme and irrational fear of simple things or social situations]. Phobia adalah rasa ketakutan kuat (berlebihan) terhadap suatu benda, situasi, atau kejadian, yang ditandai dengan keinginan untuk menjauhi sesuatu yang ditakuti itu.

Sementara frustasi adalah gejala kejiwaan yang ditandai oleh keputus asaan akut akibat tekanan masalah yang dihadapinya. Jika phobia diakibatkan karena banyaknya informasi tentang corona, sementara frustasi dikarenakan afek domina yang mengikutinya, semisal hilangnya mata pencaharian.

Dalam teori Psikoanalisa Freud, phobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya. Karena itulah jika setiap saat mendengar kabar kematian akibat coronavirus lalu timbul ketakutan yang berlebihan, maka inilah yang disebut phobia.

Dalam teori behavioral, proses pembelajaran merupakan cara berkembangnya phobia. Avoidance Conditioning. Penjelasan utama behavioral tentang phobia adalah reaksi semacam itu merupakan respons avoidance yang dipelajari [avoidance conditioning]. Formulasi avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.

Pertama melalui classical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan. Kedua, seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari atau menghindarinya (physical distancing dan stay at home). Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning; respons dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi ketakutan yang menguatkan.

Phobia juga bisa muncul melalui modelling berdasarkan vicarious learning dalam arti seseorang bisa mengalami gangguan kejiwaan berupa phobia terhadap coronavirus jika seorang public figure salah mengkomunikasikan, semisal berbohong bahwa tidak ada virus, padahal kenyataannya justru banyak. Atau komunikasi yang berlebihan (teror) tentang coronavirus juga akan menimbulkan gejala phobia.

Psicorona, baik berupa phobia maupun frustasi berdampak kepada kecacatan keterampilan sosial bagi pengidapnya. Dukungan terhadap model psikologi behavioral ini berasal dari berbagai penemuan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki kecemasan sosial memang memiliki skor rendah dalam tingkat keterampilan sosial (Twentyman & McFall, 1975) dan bahwa mereka tidak mampu memberikan respons pada waktu dan tempat yang tepat dalam interaksi sosial (Fischetti, Curran, Sr Wessberg, 1977) , misalnya melakukan berbagai tindakan berlebihan kepada setiap obyek yang ditemui.

Dalam perspektif psikologi abnormal, gangguan kejiwaan berupa phobia atau depresi ini bisa disembuhkan melalui terapi kognitif. Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap.

Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih hesar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan memercayai bahwa kejadian negatf memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; Turk dkk.,2001).

Berbagai studi terhadap orang-orang yang mengalami kecemasan sosial telah meneliti faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan fobia sosial. Orang-orang yang mengalami kecemasan sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang lain dibanding orang-orang yang tidak memiliki kecemasan sosial (Goldfried, Padawer, & Robins, 1984), lebih memerhatikan citra yang mereka tunjukkan pada orang lain (Bates, 1990), dan cenderung melihat diri mereka secara negatif walaupun mereka tampil dengan baik dalam suatu interaksi sosial (Wallace 61 Alden, 1997).

Selain menggunakan pendekatan teori kognitif, phobiacorona atau depresi sosial juga bisa disembuhkan melalui lima pendekatan terapi psikologis berikut : [1] Flooding, yakni exposure treatment dimana masyarakat diberikan penjelasan yang komprehensif soal coronavirus [2] Desentisisasi sistematis, yakni exposure treatment yang lebih ringan berupa rileksasi, suasana hiburan, sehingga bisa mengalihkan perhatian dari corona dan persoalan keluarga.

[3] Abreaksi dilakukan dengan cara membaca informasi yang benar tentang corona melalui berbagai media. [4] Refreming merupakan cara menyembuhkan dengan membayangkan kembali menuju masa lalu dimana permulaannya si penderita mengalami phobia. [5] Hypnotherapy merupakan cara menyembuhkan psicorona dengan memberikan sugesti-sugesti positif untuk menghilangkan tekanan jiwa melalui berbagai motivasi.

Berikut beberapa hal praktis yang direkomendasikan oleh para psikolog agar tidak terjadi psiko abnormal di tengah wabah coronavirus ini. Pertama, jauhi atau kurangi berita-berita tentang coronavirus, sebab semuanya sudah jelas sejak awal. Kedua, jangan mencari jumlah korban yang mati, karena ini bukan pertandingan bola untuk mengetahui hasil akhir. Ketiga, jangan mencari informasi tambahan dari internet, karena bisa melemahkan kondisi mental.

Keempat, hindari mengirim pesan tentang korona yang menakutkan dan membuat frustasi, sebab mental setiap orang tidak sama, jangan malah menimbulkan depresi. Kelima, hibur hati dengan tilawah al Qur’an, menghibur anak-anak, dan menyampaikan kisah-kisah kepada mereka.

Keenam, disiplinkan pola hidup bersiah dan sehat selama stay at home. Ketujuh, ciptakan suasana hati positif, produktif dan kontributif karena bisa menambah daya tahan tubuh kita. Kedelapan, kuatkan keyakinan bahwa badai corona pasti akan berlalu atas kehendak Allah.

Nah, jangan lupa juga untuk membantu sesama saudara atau tetangga yang secara langsung terdampak corona terutama dari sisi ekonomi keluarganya. Jika kita punya kemampuan finansial, maka bersedekah saat corona, pahalanya semoga tambah besar, sebab memang banyak orang yang sedang membutuhkan uluran tangan.

(AhmadSastra,07/04/20 : 23.00 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.