PENANGANAN WABAH DALAM LINTASAN SEJARAH PERADABAN ISLAM



Oleh : Ahmad Sastra

Islam adalah agama sekaligus ideologi sempurna yang menjadi solusi terbaik atas seluruh problematika kehidupan yang dihadapi manusia sampai akhir zaman, dibanding ideologi kapitalisme sekuler (memisahkan agama dan kehidupan) yang kini tengah menjajah negeri ini dan komunisme ateis (tidak mengakui tuhan dan agama).

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu (QS Al Maidah : 3). Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. (QS Ali Imran : 19)

Islam adalah agama yang mengakui adanya Tuhan Pencipta alam semesta, sekaligus mengakui ilmu pengetahuan sebagai bagian dari peradaban Islam. Karena itu Islam senantiasa menjadi solusi atas segala persoalan manusia. Dua pendekatan sekaligus diajarkan dalam Islam, yakni pendekatan spiritual dan rasional.

Pendekatan spiritualitas maknanya adalah hakekat atau i’tiqodi yakni keyakinan seorang muslim bahwa musibah adalah semata-mata datangnya dari Allah, maka muslim harus ridho atas setiap qodho Allah. Allah menegaskan bahwa semua musibah datangnya dari Allah yang telah tertulis di lauhul mahfudz.

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah (QS Al Hadid : 22).

Pendekatan spiritual juga diwujudkan dengan muhasabah bahwa kehadiran musibah disebabkan oleh perilaku manusia yang menyalahi hukum dan aturan Allah atau disebut maksiat. Beberapa ayat berikut menunjukkan hal ini.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS Ar Ruum : 41)

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS Asy Syura : 30)

Allah sendiri tidak pernah menzalimi manusia, bahkan justru senantiasa memberikan nikmat kepada manusia. Adapun manusia kebanyakan tidak bersyukur dan bahkan berbuat kesalahan dan kemaksiatan.

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS An Nisaa : 79).

Karena itu seorang mukmin, sikap pertama saat ada musibah adalah kesadaran sptitual, dengan mengucapkan kalimat istirja’ : (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (QS Al Baqarah : 156).

Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata: “Nabi naik ke Uhud bersamanya Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tiba-tiba gunung bergoncang. Maka Nabi menghentakkan kakinya dan berkata: Tenanglah Uhud! Yang ada di atasmu tiada lain kecuali Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid.”

Khalifah Umar pernah berkata : “Wahai masyarakat, tidaklah gempa ini terjadi kecuali karena ada sesuatu yang kalian lakukan. Alangkah cepatnya kalian melakukan dosa. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika terjadi gempa susulan, aku tidak akan mau tinggal bersama kalian selamanya!”

Dari aspek spiritualitas diatas dapat diambil pelajaran bahwa betapa pentingnya memiliki seorang pemimpin yang bertaqwa yang senantiasa mengajak rakyatnya patuh tunduk kepada semua hukum Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah. Pemimpin bertaqwa sangat sadar bahwa musibah yang menimpa diakibatkan oleh kemaksiatan rakyatnya. Keimanan dan ketaqwaan adalah dua kondisi yang menjadi asbab datangnya keberkahan dari Allah.

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs Al A’raf : 96).

Selain pendekatan spiritualitas, Islam juga mengajarkan pendekatan rasionalitas sebagai bentuk ikhtiar mengatasi berbagai persoalan. Pendekatan rasional adalah bagian dari hukum kausalitas. Sebab Islam tidak mengajarkan paham fatalism kepada umatnya.

Allah menegaskan dalam firmanNya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS Ar Ra’d : 11). Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya (obatnya) (HR Bukhari)

Solusi rasional seperti karantina atau isolasi justru dipelopori oleh Rasulullah SAW 1300 tahun yang lalu. Karantina atau isolasi inilah yang sekarang disebut lockdown. Pelopor pendekatan isolasi saat pandemi oleh Rasulullah bahkan diakui dan ditulis oleh Dr. Craig Considine, seorang sosiolog dalam twitter-nya pada 27 Maret lalu. Ini adalah pendekatan rasional dengan kaidah kausalitas, sebagai ikhtiar manusia.

Ada beberapa hadist yang menunjukkan usaha-usaha rasional dalam menghadapi wabah. ‘ Janganlah engkau mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat (HR Al Bukhari) (physical/social distancing). Jauhilah penyakit kusta, sebagaimana engkau lari dari kejaran singa’ (HR Ahmad)

Dalam skala besar, Rasulullah bersabda : Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah keluar darinya (HR Al Bukhari)

Pada masa khilafah Umar bin Khaththab pada tahun 18 H, dalam perjalanan ke Syam, ternyata disana sedang terjadi wabah thaun Amwas dari hasil laporan gubernur Syam saat itu, maka Umar tidak melanjutkan perjanan untuk berpindah dari takdir satu ke takdir yang lain. Ibarat menggembalakan kambing : pilih padang rumput hijau atau kering. Akhirnya mereka pulang ke Madinah.

Wabah Thaun berhenti dibawah kepemimpinan Amr bin Ash, beliau mengatakan : wahai manusia, penyakit ini seperti kobaran api, maka jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung.

Namun jika telah berusaha secara ikhtiari, ternyata Allah menakdirkan lain yakni kematian, sebagaimana yang menimpa sahabat Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Suhail bin Amr, maka akan mendapat pahala mati syahid.

Maka jika wabah meluas, peran negara sangat dibutuhkan. Sebab negara dengan khalifah sebagai pemimpinnya adalah orang yang paling bertanggungjawab atas nasib rakyatnya. Sistem negara yang kuat dan pemimpin yang bertaqwa adalah kondisi ideal dalam menyelesaikan persoalan wabah ini.

Amir atau pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyatnya (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

Pendekatan kapitalisme sekuler dalam menyikapi wabah yang terjadi di negeri ini justru sebaliknya, yakni negara tidak hadir dan cenderung abai atas nasib rakyatnya. Bahkan sebelum terjadi wabah di negeri ini, para pemimpin negeri ini terkesan meremehkan, bercanda dan cenderung sombong.

Berbeda dengan apa yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam, pemimpin yang bertaqwa terbukti begitu mengutamakan keselamatan nyawa rakyatnya, dibandingkan kepentingan apapun selama terjadi wabah. Selain melakukan renungan atas perbuatan buruk yang pernah dilakukan, negara Islam juga melakukan berbagai solusi yang rasional dan terukur dalam rangka menyelamatkan nyawa rakyat.

Dalam Islam, seorang khalifah adalah orang yang diberikan amanah untuk mengurusi urusan rakyat dengan dasar syariat Islam. Seorang khalifah dibaiat oleh rakyat, namun tetap harus bertanggungjawab kepada Allah atas kepemimpinannya. Contohlah khalifah Umar Takut bin Khatab yang begitu takut kepada Allah jika sampai menelantarkan rakyatnya.

Dalam salah satu perbincangan dengan Muawiyah bin Hudaif setelah penaklukan Iskandariyah, Umar pernah berucap : Kalau aku tidur di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah ? ”

Umar tentu sangat paham betapa berharganya nyawa satu orang muslim, sehingga dia sangat memperhatikan nasib rakyatnya, jangan sampai terzolimi sedikitpun. Itulah mengapa Umar pernah berkata, “Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu.

Karena onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati sia-sia karena kelaparan, atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan memintai pertanggung-jawaban kepadanya nanti di hari kiamat. Bahkan khalifah Umar saat mendengar berita tentang seekor keledai yang tergelincir sebab jalan yang sempit di Kuffah (Iraq), maka sang Khalifah langsung intruksikan agar tanah dibebaskan dan jalan dilebarkan.

Jangankan nyawa manusia yang menjadi rakyatnya, bahkan nyawa binatangpun bagi Umar tetap menjaganya dan tidak mau terzolimi karena kebijakannya. Sebuah hadist dengan tegas menyatakan : Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak. (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Siang dan malam Khalifah Umar selalu memantau keadaan rakyatnya. Umar benar-benar sadar kepemimpinan itu adalah melayani, bukan dilayani. Kepemimpinan bukan untuk menaikkan status sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di akhirat semata. Nyawa rakyat bagi Umar adalah pertanggungjawaban besar kelak di akherat, maka menyia-nyiakannya adalah sebuah kezoliman.

Abdullah bin Abbas ra. mengatakan, “Setiap kali shalat, Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa yang mengadukan suatu keperluan, maka ia segera meneliti keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga matahari mulai naik, melihat keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali ke rumah”.

Sesaat setelah terpilh sebagai sebagai khalifah, dalam pidatonya, tergambar bagaimana takutnya Umar memikul beban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin ketika itu. Dan bukan saat itu saja Umar merasa hal itu disampaikan Umar. Sesaat setelah Abu Bakar dimakamkan, Umar sudah merasakan ketakutan itu. Sebab dalam Islam kepemimpinan adalah amanah besar, tidak layak diperebutkan, apalagi jika salah niat.

Dalam buku, Biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal digambarkan bagaimana sosok kepemimpinan khalifah kedua ini. Pertama, Umar adalah pemimpin yang sangat tegas terhadap kezoliman dan yang memusuhi Islam. Namun, Umar sangat lembut kepada orang jujur, adil dan teguh pada agamanya.

Kedua adalah kesadaran bahwa jabatan sebagai khalifah adalah ujian. Allah menguji rakyat dengan kepemimpinan Umar, sementara Umar diuji oleh rakyatnya. Dengan tegas Umar akan mengurus urusan rakyat dengan penuh amanah dan tidak menzolimi rakyat.

Ketiga, adanya hubungan saling mengingatkan antara pemimpin dan rakyatnya. Umar tak ragu meminta rakyat menegurnya atau mengkritiknya jika dirinya bersalah. Bahkan Umar dalam pidatonya, meminta rakyat tak ragu menuntutnya jika rakyat tak terhindar dari bencana, pasukan terperangkap ke tangan musuh. Bagi Umar, orang yang paling dicintai adalah yang mau menunjukkan kesalahannya.

"Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf naih munkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan audara-saudara sekalian," kata Umar menutup pidatonya.

“Jangan sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang zolim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (karena melihat adzab).” (QS. Ibrahim: 42).

Tidak ada dosa yang lebih berhak untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, disamping masih ada hukuman di akhirat, selain dosa zolim dan memutus silaturrahmi. (HR. Turmudzi 2700, Abu Daud 4904 dan dishahihkan al-Albani).

Nah, untuk para pemimpin muslim, dimanapun berada, hendaknya berguru kepada kepemimpinan Umar bin Khatab bahwa betapa sang khalifah begitu mencintai dan dicintai rakyatnya karena begitu menghargai nyawa rakyatnya. Dia tidak ingin berbuat zolim sedikitpun yang berakibat hilangnya nyawa rakyat, meski hanya satu orang.

Nah oleh karena itu umat Islam, baik ulama maupun umara mestinya belajar dari para pemimpin seperti Rasulullah dan para khalifah dalam sejarah peradaban Islam bagaimana mereka begitu seriusnya menyelamatkan nyawa rakyat dari berbagai musibah, kesulitan maupun wabah. Nyawa rakyat harus diutamakan dari pada kepentingan yang lain.

Setelah corona hilang karena pertolongan Allah dan ikhtiar, maka saatnya pula negeri ini membangun peradaban baru berbasis spiritualitas yang melahirkan masyarakat beriman dan bertaqwa. peradaban baru juga harus berbasis rasionalitas yang melahirkan kemajuan sains dan teknologi untuk berbagai tujuan mulia. Inilah peradaban Islam yang menebarkan rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta.

(AhmadSastra,KotaHujan,04/03/20 : 20.20 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.