DEMOKRASI, PUNCAK MALAPETAKA AKHIR ZAMAN
Sabtu, April 18, 2020
0
Oleh : Ahmad Sastra
Demokrasi adalah puncak malapetaka akhir zaman. Demokrasi itu ibarat kendaraan yang mengalami rem blong, sopir demokrasi adalah orang mabok yang tidak tahu arah jalan, kondekturnya seorang penipu dan kernetnya orang yang mengalami gangguan jiwa. Jika demikian, kemana kendaraan itu tengah berjalan dan siapakah yang rela jadi penumpangnya ?.
Demokrasi adalah jalan setan yang akan berujung kepada malapetaka kehidupan. Demokrasi adalah puncak malapetaka masyarakat modern atau akhir zaman yang harus segera dilempar ke jurang peradaban. Prinsip kebebasan demokrasi yang destruktif telah sampai kepada puncak amoralitas manusia di dunia. Seluruh amoralitas di zaman para nabi, kini semua dilegitimasi oleh demokrasi sekuler.
Winston Churchil menyatakan, “Democracy is worst possible form of government” (demokrasi kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerinthan). Abraham Lincoln “Democracy is government of the people, by people, by people, and for people”. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Menurut John Locke ada dua asas terbentuknya negara. Pertama, pactum unionis yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk negara. Kedua, pactum suvjektionis, yaitu perjanjian negara yang dibentuknya.
Oleh Barat istilah politik didifiniskan menjadi upaya untuk meraih kekuasaan. Karena itu Montesquieu dari Perancis dan John Locke dari Inggris membagi kekuasaan demokrasi menjadi tiga level, pertama kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan pembuat undang-undang. Kedua, kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan melaksanakan undang-undang. Ketiga, kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh badan peradilan.
Pada perkembangannya, demokrasi dimaknai variatif karena sangat bersifat interpretative subyektif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai negara demokratis, meskipun nilai yang dianutnya/praktik politik kekuasaannya amat jauh dari prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan demokrasi parlementer.
Multiinterpretasi ini sesungguhnya menunjukkan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Interpretasi subyektif terhadap postulat demokrasi menguatkan indikator adanya self destructive atau dengan kata lain konsep demokrasi telah membawa cacat sejak lahir. Apalagi jika ditambahkan dengan definisi politik yang sangat pragmatis yakni upaya untuk meraih kekuasaan semata.
Dengan demikian politik demokrasi adalah sebuah katarsitas atas nafsu kekuasaan tanpa berpijak kepada nilai-nilai moral dan etika agama. Manusia memang secara genetik memiliki nafsu untuk berkuasa. Definisi demokrasi yang diajukan oleh Abraham Lincoln meniscayakan adanya pengabaian nilai-nilai spiritual dalam praktek berdemokrasi.
Sebab seluruh pemikiran tentang demokrasi dikuasai oleh subyektivitas manusia tanpa campur tangan Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Begawan demokrasi Sokrates yang mengatakan bahwa manusia adalah pusat segala sesuatu yang mampu mengatur dirinya sendiri.
Jika demikian, maka demokrasi secara genealogis adalah ateis dalam arti meniadakan peran Tuhan dalam merumuskan segala sesuatu tentang pengaturan manusia, kehidupan dan alam semesta. Namun bisa juga demokrasi dimaknai sebagai antropomorpisme dalam arti menjadikan manusia sebagai Tuhan yang berhak menciptakan hukum dan aturan. Maka tidak mengherankan jika dalam demokrasi dikenal adagium suara rakyat suara Tuhan. Adagium ini bermakna bahwa tuhannya demokrasi adalah manusia.
Karena Tuhan dianggap tak memiliki peran sedikitpun dalam konsep dan praktek demokrasi, maka nilai-nilai moral tidak berlaku sama sekali. Itulah sebabnya orang-orang yang berkarakter curang, bohong, koruptif, manipulatif yang akan bisa bertengger diatas kursi-kursi kekuasaan demokrasi. Orang-orang baik yang mencoba ingin mengubah nasib hidupnya dengan masuk ke pusaran busuk demokrasi justru seringkali dianggap aneh dan terpinggirkan. Bahkan banyak orang-orang baik oleh pusaran busuk demokrasi dijebak dan dipaksa untuk menjadi orang jahat.
Dalam demokrasi, partai politik yang seharusnya berdiri untuk membela kepentingan rakyat justru dijadikan sebagai bancakan untuk meraup keuntungan materi. Tidak ada makan siang gratis dalam demokrasi. Seluruh perhelatan politik demokrasi sarat dengan permainan uang yang kotor. Tolok ukur demokrasi bukanlah halal haram, melainkan kepentingan dan keuntungan materi semata. Sekali lagi demokrasi itu ateistik dan materialistik.
Karena itu jika masih ada orang muslim yang memaksakan demokrasi sebagai ideologi yang sejalan dengan Islam, maka bisa dikatan buta sejarah dan gagal paham. Sebab demokrasi dan Islam adalah dua kutup yang bertentangan 180 derajat. Demokrasi ada dalam kutub kebatilan, sementara Islam dalam kutub kebenaran. Terminologi Islam demokrasi atau demokrasi Islam dengan demikian adalah sebuah interpretasi epistemologi yang tidak berakar dari epistemologi Islam, melainkan dari filsafat Barat.
Fakta ini diperkuat oleh sejarah lahirnya demokrasi. Sejarah perkembangan demokrasi dimulai dari zaman Yunani Romawi kuno (500 SM – 476 M), kemudian zaman abad pertengahan dari (476 M – 1500 M) dan zaman modern (1500 M – sekarang) dimana tiap masa memiliki rumusan demokrasi yang kontekstual, sesuai situasi kondisi yang ada pada zamannya masing-masing.
Pada zaman modern istilah demokrasi dirumuskan oleh Abraham Lincoln, dimana konsep demokrasi didorong oleh menyebarnya paham kebebasan di Amerika Serikat yang mempengaruhi Revolusi Perancis dan dirumuskan sebagai Egalite (Persamaan), Fraternite (Persaudaraan) dan Liberte (Kemerdekaan). Kemudian dari belahan dunia timur Dr. Sun Yat Sen mengenalkan istilah Demokrasi dengan istilah Min Chuan.
Dari bangunan epistemologi tentang demokrasi diatas menguatkan tesis bahwa berharap akan lahirnya pemimpin yang adil, jujur dan berakhlak dari rahim demokrasi adalah sebuah utopia. Demikian pula berharap akan datangnya kehidupan yang sejahtera, aman, dan bahagia dibawah payung demokrasi adalah sebuah ilusi tingkat dewa.
Kenyataannya janji demokrasi akan adanya keadilan dan kesejahteraan dari sistem ekonomi dan kebudayaan liberal-kapitalistik yang dibangunnya adalah kebohongan belaka. Sistem ini hanya menjamin keadilan dan kesejahteraan sebagian orang. Biasanya hanya orang-orang yang ada dalam olighariki kekuasaan. Rakyat hanya dijadikan ‘sapi perah’ penguasa dan wakil rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan; pajak, pencabutan subsidi BBM, kenaikan tarif listerik, dan lain-lain. Hanya dalam demokrasi kekayaan 4 orang konglomerat sama dengan 100 juta harta orang melarat.
Sebagai sekedar catatan penguat, selama tahun 2010, tercatat sebanyak 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari Rp 4,2 triliun. Ditambah lagi dengan pengulangan-pengulangan yang biayanya lebih besar dari itu. Penghamburan uang itu terjadi di tengah-tengah kondisi yang sangat memilukan; pada tahun 2010 tercatat lebih dari 31 juta (13%) dari 237 juta penduduk Indonesia dalam kondisi miskin luar biasa. Dalam hal ini, hasil Pilkada tidak pernah mengubah nasib rakyat. Yang berubah hanya para penguasa dan kroni-kroninya saja. Janji demokrasi tak ubahnya hanyalah pepesan kosong.
Begitupun prinsip kebebasan tanpa batas nilai yang dibawa demokrasi telah memporakporandakan pilar-pilar kehidupan dan kemanusiaan. Kebebasan berpendapat telah melahirkan berbagai aliran pemikiran sesat dan menyesatkan. Kebebasan kepemilikan telah melahirkan kolonialisme dan imperialisme negara-negara penjajah terhadap negara dunia ketiga. Kebebasan berperilaku telah melahirkan budaya amoral yang lebih menjijikkan dari perilaku hewan. Budaya LGBT, free sex, pelacuran, dan legalisasi minuman keras hanyalah segelintir perilaku binatang yang dilahirkan dari rahim demokrasi. Demokratisasi bermakna binatangisasi.
Dengan demikian dari perspektif kebebasan berpendapat, demokrasi tak ubahnya sebagai racun yang merusak dan melumpuhkan sendi-sendi nilai agama. Dari perspektif kebebasan kepemilikina, demokrasi tak ubahnya sebagai monster jahat yang menjajah negara dan rakyatnya yang mengakibatkan kemiskinan tiada tara. Dari perspektif kebebasan perilaku, demokrasi tak ubahnya sebagai gerakan binatangisasi yang melahirkan ras manusia dengan karakter binatang.
Namun demikian, patut disayangkan bahwa meski demokrasi hakekatnya adalah ideologi busuk penyebab malapetaka peradaban dan kemanusiaan, tapi kini ideologi ini telah menjelma menjadi sebuah paham, bahkan semacam ‘agama’ yang nyaris tanpa koreksi. Lebih disayangkan lagi banyak dari kaum muslimin yang masuk dan menikmati ideologi busuk ini, seolah tak ada alternatif ideologi yang lebih baik. Dengan pemahaman yang benar, seharusnya seluruh kaum muslimin di dunia menolak demokrasi, kecuali mereka gagal paham atau pahamnya gagal. Demokrasi adalah jalan setan penyebab malapetaka kehidupan manusia.
Oleh karena itu, selama sistem jahiliyah demokrasi yang diterapkan, maka selama itu pula dunia dan kehidupan manusia akan diwarnai oleh malapetaka, kerusakan dan keterpurukan. Sebab ibarat kendaraan, sopir demokrasi adalah orang mabok yang tahu arah jalan, kondekturnya seorang penipu dan kernetnya orang gila. Ketiga pengendali demokrasi itu menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Hanya orang bodoh yang mau jadi penumpang kendaraan demokrasi. Padahal Allah pencipta kehidupan manusia dan alam semesta telah menawarkan sistem ideologi yang benar dan akan membawa kebaikan sempurna, itulah Islam. Hanya syariah Islam yang bisa menjamin keadilan karena ia berasal dari Dzat yang Maha Adil. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendak. (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (Qs Al Maidah : 50).
(AhmadSastra,18/04/20 : 21.10 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags