INDONESIA DARURAT PREDATOR POLITIK
Kamis, Maret 19, 2020
0
Oleh : Ahmad Sastra
Demokrasi yang berwajah sekuleristik secara terang-terangan menolak peran agama dalam pengelolaan negara. Akibatnya, manusia dijadikan sebagai sumber segala hukum dan pusat segala sesuatu. Hal ini sejalan dengan pameo demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sifat antroposentrisme dan antropomorpisme demokrasi telah melahirkan predator-predator politik. Predator politik demokrasi adalah manusia-manusia rakus yang berkuasa dengan kecurangan. Setelah berhasil mengangkangi kekuasaan, mereka lantas memperbesar perutnya dengan merampok harta rakyat. Sementara negara makin karut marut karena ketidakbecusan mengelola.
Orientasi materialisme dan pragmatisme politik demokrasi inilah yang akan melahirkan model kekuasaan otoriterisme yang abai terhadap nilai spiritual dan kemanusiaan. Fir’aun dan Qorun adalah fakta sejarah, dimana materi dan kekuasaan dijadikan tujuan hidupnya tanpa mengindahkan kuasa Tuhan dan kemanusiaan.
Indonesia darurat predator politik akibat penerapan demokrasi sekuler liberal. Predator itu berdiri mengangkang sebagai pendusta agama. Mereka secara sewenang-wenang mengubah undang-undang seenak nafsunya sendiri. Naifnya, para predator politik demokrasi adalah mereka yang rela menjadi jongos penjajah demi mengisi perutnya.
Predator politik demokrasi kerjanya hanya janji dan menipu rakyat yang memilihnya. Setelah mereka terpilih, maka mereka berubah menjadi budak dan jongos penjajah yang selama ini telah membiayai kampanyenya. Sementara rakyat hanya menjadi penonton sambil terus dicekik hingga mati terkapar.
Predator politik demokrasi adalah jongos penjajah yang kerjanya menipu dan menyengsarakan rakyat. Demi melancarkan proyek-proyek penjajah sebagai konvensasi jabatan, para predator politik rela mengorbankan rakyatnya terkapar dan sengsara. Bahkan, mereka tak peduli keselamatan nyawa rakyatnya demi menjalankan perintah juragannya.
Publik masih sangat ingat, beberapa kasus megakorupsi seperti e-KTP, BLBI, Century kini publik dikagetkan dengan megakorupsi Jiwasraya, Asabri dan kasus suap di KPU yang sampai kini masih terus dikembangkan. Uang rakyat triliunan ini dirampok oleh para predator politik yang memang diberikan ruang oleh sistem demokrasi.
Kasus suap komisioner KPU, jika ditangani oleh KPK dengan benar, bukan tidak mungkin akan membuka berbagai kecurangan yang terjadi dalam pemilu 2019. Buktinya kini satu-persatu ditetapkan sebagai tersangka karena telah melakukan kecurangan pemilu. Sebenarnya rakyat telah merasakan ketidakberesan selama proses pemilu hingga perhitungan suara. Bahkan pemilu 2019 dinilai sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia karena telah menelan tumbal lebih dari 700 nyawa.
Betapa jahatnya apa yang dilakukan oleh para predator politik yang tega mengkorupsi uang rakyat ini. Betapa budaya korupsi telah mendarah daging dalam sistem demokrasi ini. Sementara para predator menikmati uang haram hasil maling, di ujung sana ada seorang nenek, karena kemiskinannya, terpaksa harus makan rumput kering. Padahal dia adalah warga negara bangsa ini juga yang berhak mendapatkan kesejahteraan.
Kasus-kasus megakorupsi seperti jiwasraya, asabri, pertamina, bumi putra, KPU, century, BLBI dan di hampir semua kementerian, baik yang ketahuan maupun yang ditutupi adalah bentuk pengkhianatan para predator demokrasi kepada rakyat dan negara. Mirisnya, sesama predator saling melindungi dan saling menyembunyikan. Jika satu predator kabur karena ketahuan korupsi, maka predator lainnya melindungi.
Demokrasi yang sarat dengan politik transaksional terbukti bemberikan peluang yang sangat luas bagi perilaku korup, apalagi jika dilakukan oleh para pemangku amanah secara bersama-sama. Korupsi dan koruptor inilah yang sesungguhnya telah menjadi musuh besar bangsa ini. Demokrasi terbukti telah melahirkan banyak predator politik dari rezim ke rezim. Oligarki politik menambah busuk wajah demokrasi.
Jika para pemimpin korupsi uang rakyat dan para penegak hukum menerima gratifikasi, maka ujungnya adalah kesengsaraan rakyat dan kehancuran sebuah negara bangsa. Demokrasi secara genetik membawa sifat kleptokratif. Sebab sejak awal demokrasi telah diidentikkan dengan uang dan kekuasaan. Demokrasi sejak awal telah membudayakan uang haram sebagai alat untuk meraih kekuasaan.
Pelaku tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme nampaknya belum kunjung usai mewarnai jagat perpolitikan Indonesia. Bahkan fenomena ini oleh sebagain besar masyarakat Indonesia telah disebut sebagai budaya. Budaya artinya perbuatan yang diulang-ulang karena dianggap telah menjadi kebiasaan.
Bisa jadi sistem demokrasi yang bersifat antroposentris yang meniadakan peran Tuhan telah melahirkan politik kleptokrasi, dimana mencuri uang rakyat dianggap sebagai budaya politik yang dilakukan secara kolektif untuk saling mendukung dan melindungi. Mencuri dan membagi uang dilakukan semudah membalik telapak tangan, tanpa merasa berdosa.
Kleptonamia adalah sejenis gangguan psikologis ketika seseorang tidak mampu menguasai diri saat muncul keinginan untuk mencuri barang orang lain, meskipun barang itu tak bernilai harganya. Keinginan kuat ini lantas menjadi sebuah kebiasaan mencuri barang orang tanpa merasa sebagai sebuah kesalahan.
Kleptomania lebih sering tidak direncanakan, namun merupakan tindakan sesaat saja. Kleptomania terdiri dari dua kata bentukan, klepto yang artinya mencuri dan mania yang artinya gegemaran atau kecenderungan yang berlebihan. Secara empirik penyakit kleptomania ini bisa menjangkiti manusia sejak usia dini. Demokrasi dengan karakteristik politik padat modal berpotensi kuat membentuk mental kleptomania dari tingkat grassroot hingga pejabat tertinggi.
Dalam sistem demokrasi setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kekuasaan, tanpa ada standar moralitas tertentu. Akibatnya sistem ini telah berubah menjadi ajang akrobat politik bagi hasrat kekuasaan orang-orang yang mampu membeli suara rakyat. Mereka tidak merasa takut, karena mayoritas pelaku demokrasipun melakukan money politic yang sama demi pertarungan meraih singgasana kekuasaan.
Politik transaksional inilah yang kemudian mengkibatkan munculnya praktek korupsi sebagai cara untuk menutupi biaya politik ketika kampanye. Dari sinilah politik demokrasi menjelma menjadi politik kleptokrasi.
Secara psikologis, penderita kleptomania akan merasakan ketegangan subyektif sesaat sebelum mencuri, namun akan merasakan rasa puas dan lega setelah berhasil mencuri. Penderita kleptomania sepenuhnya menyadari bahwa perbuatannya adalah sebuah kesalahan, namun dirinya tak mampu mengendalikan dirinya saat hasrat itu muncul. Perasaan sedihpun menghantui seorang kleptomania. Sebuah penelitian yang dilakukan di Stanford University mengungkapkan bahwa 62, 5 persen penderita kleptomania adalah perempuan, sementara 37,5 persen sisanya adalah laki-laki.
Begitupun dalam politik demokrasi, mayoritas koruptor sangat memahami dan menyadari akan kesalahan perilaku korupnya. Namun dorongan nafsunya melampaui rasionalitas dan kesadarannya. Akan muncul perasaan takut sesaat sebelum korupsi, namun ketika berhasil korupsi, dirinya merasa aman karena toh banyak koleganya yang melakukan hal yang sama. Jika ketahuan, semua juga akan terlibat. Yang tidak mungkin hilang adalah ketakutan spiritualnya, meski tetap bisa terkalahkan oleh nafsunya.
Masih menurut penelitian di Stanford University pada tahun 2011, mayoritas usia orang yang menderita penyakit kejiwaan ini berkisar 45 tahun. Mayoritas kleptomania diderita orang yang telah berkeluarga sebanyak 47,5 persen. Penderita lajang sebanyak 27,5 persen dan sisanya 25 persen adalah duda atau janda. Dari sisi pekerjaan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerja, pengangguran maupun pekerja separuh hari. Ketiganya memiliki peluang mengidap penyakit ini.
Sistem demokrasi yang memberikan peluang lebar untuk melakukan praktek suap demi meraih simpati dan kekuasaan berkontribusi kuat bagi lahirnya kleptokrasi di negeri ini. Bahkan lebih parah, jika para penguasa telah bersepakat untuk merumuskan undang-undang yang hanya menguntungkan mereka sendiri dan justru merugikan rakyat. Hal sangat mudah dilakukan, karena perundang-undangan bisa lahir dari kesepakatan diantara mereka sendiri. Jika diibaratkan, kesepakatan yang lahir dari sekelompok maling akan menghasilkan aturan dan kesepakatan jahat.
Dalam laporan NCBI pada tahun 2011, kleptomania merupakan gangguan kejiwaan yang menjangkiti 6 dari 1000 orang diseluruh dunia. Di Amerika sendiri pengidap penyakit ini sekitar 1,2 juta orang. Kleptomania adalah sejenis gangguan jiwa yang diakibatkan oleh gangguan biologis maupun psikologis. Secara psikologis, penderita kleptomania bisa jadi karena salah asuh, meskipun penyakit ini masih belum ditemukan penyebab utamanya hingga hari ini.
Secara naluriah, setiap orang memang telah diberikan kecenderungan untuk memiliki segala sesuatu dalam hidup ini, baik barang kecil maupun barang yang berharga tinggi. Kecenderungan ini setiap saat akan muncul dalam diri seseorang. Itulah mengapa penyakit kleptomania ini sangat disadari oleh penderitanya.
Hanya saja dalam kasus kleptomania, dorongan naluri lebih dominan dibandingkan rasionalitasnya. Secara naluriah, penyakit kleptomania mirip dengan kecenderungan makan seekor binatang. Sebab binatang jika hendak makan, maka dia akan mengikuti nalurinya, dimana ada makanan disitu ia makan. Tak lagi berfikir milik siapa makanan itu, sebab binatang tidak diberikan akal oleh Allah.
Secara internal pola penyembuhan penyakit jiwa ini adalah dengan munculnya pemahaman, kesadaran, komitmen serta konsistensi spiritual. Potensi internal ini mesti ditumbuhkan dalam setiap diri secara terus menerus. Secara eksternal, penyakit jiwa ini akan bisa disembuhkan dengan adanya komunitas yang terus mendukung penyembuhannya dan selalu mengingatkan jika dilakukan atau sering disebut sebagai kontrol masyarakat. Lebih fundamental lagi adalah harus ada sistem politik yang berdasarkan nilai-nilai spiritual.
Sayangnya justru sistem demokrasi inilah yang membuka peluang lebar bagi tumbuhkembang penyakit kleptomania ini, namun tetap dipuja dan dipertahankan. Hukuman mati yang diajukan oleh rakyat untuk para koruptorpun ditolak, sebab pada akhirnya akan menimpa mereka sendiri. Mestinya bangsa ini membuang jauh sistem sampah demokrasi dan kembali kepada sistem Islam yang datang dari Allah Yang Maha Adil.
Indonesia darurat predator politik akibat penerapan demokrasi sekuler. Pantas jika Winston Churchil menyatakan, “Democracy is worst possible form of government” (demokrasi kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerinthan).
(AhmadSastra,KotaHujan,19/03/20 : 17.00 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags