DIASPORA DEMOKRASI



Oleh : Ahmad Sastra

Pesta demokrasi yang ditandai oleh pemilu dari tahun ke tahun membuktikan belum adanya perubahan signifikan yang dirasakan rakyat. Sejak deklarasi kemerdekaan tahun 1945, rakyat Indonesia belum beranjak dari berbagai masalah yang menderanya. Meski penjajah fisik telah hengkang, namun penjajahan non fisik aromanya begitu kuat menyengat bangsa ini.

Akibatnya, kemiskinan dan ketidakadilan masih mewarnai kehidupan rakyat Indonesia, meski rezim telah silih berganti. Gejolak masyarakat kian hari kian ekpresif dan dinamis. Kepercayaan masyarakat kepada konstruksi politik demokrasi nampaknya semakin menipis. Kini tengah terjadi semacam diaspora politik demokrasi di tengah-tengah masyarakat.

Istilah diaspora (bahasa Yunani kuno: διασπορά, "penyebaran atau penaburan benih") digunakan (tanpa huruf besar) untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka

Meski bisa jadi tidak tepat, diaspora politik dalam perspektif tulisan ini dimaknai sebagai sebuah proses dan gejala masyarakat yang mulai meninggalkan kepercayaan tradisionalnya (jumud dan kolot) terhadap sistem demokrasi dengan mencari alternatif sistem yang lebih baik. Sebab demokrasi dianggap terlalu banyak janji saat pemilu, namun faktanya nasib masyarakat banyak kadang justru semakin terpinggirkan.

Jargon demokrasi rakyat telah menjelma menjadi demokrasi korporasi, dimana pemilik modal-lah yang memiliki kendali atas gerak roda pemerintahan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan mereka. Sementara rakyat tetap gigit jari sebagai penonton dan sapi perah kekuasaan koruptif.

Sebagai contoh, kasus mega korupsi KTP - el atau korupsi jiwasraya yang merugikan triliunan uang rakyat menyentak nurani bangsa ini. Sementara ada seorang nenek, karena kemiskinannya, terpaksa harus makan rumput kering. Padahal dia adalah warga negara bangsa ini juga yang berhak mendapatkan kesejahteraan.

Demokrasi yang sarat dengan politik transaksional terbukti bemberikan peluang yang sangat luas bagi perilaku korup, apalagi jika dilakukan oleh para pemangku amanah secara bersama-sama. Jika para pemimpin korupsi uang rakyat dan para penegak hukum menerima gratifikasi, maka ujungnya adalah kesengsaraan rakyat dan kehancuran sebuah negara bangsa.

Demokrasi secara genetik membawa sifat kleptokratif. Sebab sejak awal demokrasi telah diidentikkan dengan uang dan kekuasaan. Demokrasi sejak awal telah membudayakan uang haram sebagai alat untuk meraih kekuasaan.

Pelaku tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme nampaknya belum kunjung usai mewarnai jagat perpolitikan Indonesia. Bahkan fenomena ini oleh sebagain besar masyarakat Indonesia telah disebut sebagai budaya. Budaya artinya perbuatan yang diulang-ulang karena dianggap telah menjadi kebiasaan.

Bisa jadi sistem demokrasi yang bersifat antroposentris yang meniadakan peran Tuhan telah melahirkan politik kleptokrasi, dimana mencuri uang rakyat dianggap sebagai budaya politik yang dilakukan secara kolektif untuk saling mendukung dan melindungi. Mencuri dan membagi uang dilakukan semudah membalik telapak tangan, tanpa merasa berdosa.

Dalam sistem demokrasi setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kekuasaan, tanpa ada standar moralitas tertentu. Akibatnya sistem ini telah berubah menjadi ajang akrobat politik bagi hasrat kekuasaan orang-orang yang mampu membeli suara rakyat.

Mereka tidak merasa takut, karena mayoritas pelaku demokrasipun melakukan money politic yang sama demi pertarungan meraih singgasana kekuasaan. Politik transaksional inilah yang kemudian mengkibatkan munculnya praktek korupsi sebagai cara untuk menutupi biaya politik ketika kampanye. Dari sinilah politik demokrasi menjelma menjadi politik kleptokrasi.

Celakanya, saat disatu sisi, masyarakat kecil hampir tidak diperhatikan oleh sistem politik yang sarat dengan ketidakadilan ini, namun disisi lain, masyarakat dipaksa untuk terus ikut andil mensukseskan pesta pemilu yang justru tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Jika rakyat melakukan perlawanan dengan tidak mau ikut pemilu, maka rakyat akan dibully dan dianggap bukan sebagai warga negara yang baik. Inilah ironi demokrasi yang hampir tak ada ujung pangkalnya, sementara rakyat tetap tak beranjak dari nasibnya yang memilukan.

Ketika gejala diaspora politik demokrasi mulai disuarakan oleh entitas masyarakat muslim dengan berbagai aksi dari yang bercorak sosiologis, politis hingga ideologis justru ditanggapi oleh pemimpin negeri ini dengan penegasan pentingnya memisahkan antara agama dan politik. Meski tanpa diucapkan, genealogi sistem politik demokrasi memang telah bercorak sekuleristik sejak lahirnya.

Demokrasi secara etimologis, terdiri dari dua demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya, berada ditangan manusia, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Dengan demikian secara genetik, demokrasi memiliki gen sekuler, yakni menghilangkan peran Tuhan (spiritualitas) dalam pengambilan kebijakan politik.

Dalam pandangan seorang muslim, ketika kepengurusan dan kepemimpinan sebuah bangsa kehilangan spiritualitasnya, maka bangsa itu tak lagi punya pijakan nilai kebajikan dan kesalehan. Kehilangan nilai kebajikan dan kesalehan berarti kehilangan segalanya. Sebab kebajikan dan kesalehan adalah akar dari nilai-nilai kebaikan lainnya. Sebab kesalehan selain berdimensi horizontal juga memiliki dimensi vertikal transendental.

Tanpa kebajikan dan kesalehan, tata kelola negara hanya akan berpijak pada orientasi materialisme dan pragmatisme. Materialisme adalah refleksi dari kerakusan dan keserakahan. Orientasi materialisme dan pragmatisme politik akan melahirkan model kekuasaan otoriterisme yang abai terhadap nilai spiritual dan kemanusiaan. Fir’aun dan Qorun adalah fakta sejarah, dimana materi dan kekuasaan dijadikan tujuan hidupnya tanpa mengindahkan kuasa Tuhan dan kemanusiaan.

Akibatnya lahirkan sebuah bentuk kekuasaan yang melampaui batas kemanusiaan. Merasa paling berkuasa atas manusia, Fir’aun merasa dirinya telah menjadi “tuhan jahat“ bagi rakyatnya sendiri. Orientasi materialisme, baik yang berideologi kapitalisme sekuler maupun sosialisme komunis memiliki muara yang sama : pragmatisme dan anti tuhan.

Politik hampa spiritual hanya akan melahirkan hasrat kekuasaan demi kepentingan pribadi. Politik tanpa spiritualitas akan melahirkan sikap permisivisme, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Dari paradigma materialisme inilah yang kemudian menyebabkan “budaya” korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, janji kosong, grativikasi hingga penyusunan perundang-undangan transaksional yang merugikan rakyat.

Dalam jangka menengah, gejala diaspora politik demokrasi dengan adanya kekuasaan korup sebagai produk pemilu akan memberikan kesadaran politik bahwa pilkada tidak mampu mengubah nasib masyarakat menjadi lebih baik.

Semakin banyak di lakukan pilkada, akan semakin banyak orang yang sadar akan kondisi mereka yang tidak semakin baik. Sebab perubahan rezim dari Soekarno hingga Jokowi terbukti tidak mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Orang-orang yang menyadari ini akan semakin bertambah seiring kondisi bangsa yang semakin tidak menentu.

Dalam jangka panjang, diaspora politik demokrasi ini akan berujung kepada pentingnya perubahan fundamental sistemik bangsa ini. Perubahan fundamental ini menghajatkan sebuah ketegasan ideologis yang diterapkan negeri ini. Masyarakat akan melihat bagaimana Amerika berkembang dengan kapitalismenya.

Sementara, China dengan sosialismenya meski pada akhirnya mereka hancur karena kedua ideologi mengandung self destructive. Maka sistem islamlah yang akan mendapat peluang lebar bagi perbaikan negara dan bangsa ini di masa mendatang. Saat rakyat telah kehabisan harapan kepada janji manusia, mereka akan kembali kepada fitrah spiritualitasnya.

Bukan tidak mungkin, atas pertolongan Allah, sistem Islam dengan syariahnya yang adil karena berasal dari Allah Yang Maha Adil segera bangkit, tegak dan menjadi alternatif sistem yang bisa mensejahterakan masyarakat Indonesia bahkan dunia. Sebab Islam adalah rahmatan lil ‘alamin sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam kitab suciNya yang dalam sejarah telah direalisasikan oleh Rasulullah SAW.

Ditegaskan oleh Allah dalam al Ahzab ayat 21, bahwa sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

(AhmadSastra,KotaHujan,11/03/20 : 02.00 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

2 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. Hingga kini telah kita ketahui bersama bahwa untuk mencapai sebuah kekuasaan maka tidak lepas pengaruhnya dari media massa,yang mana dengan media massalah mereka berperang ketenaran nama mereka agar supaya dikenal oleh orang banyak. Dengan dikenal oleh orang banyak maka semakin mudahlah ia menyampaikan janji-janji mereka waktu kampanye untuk direalisasikan kelak ketika telah terpilih. Dalam hal inilah sanggat diperlukannnya dengan hadirnya sebuah media massa. Namun yang sangat disayangkan oleh media saat ini yaitu, telah terjadinya cinta segitiga antara media dan penguasa tidak ada penyeimbang akan informasi-informasi yang akurat dan yang harusnya hadirnya media adalah sebagai penengah, penjelas, sebagai sistem informasi yang jelas dan akurat agar masyarakat-masyarakat awam tau apa isi penguasa saat ini.

    BalasHapus
  2. Hingga kini telah kita ketahui bersama bahwa untuk mencapai sebuah kekuasaan maka tidak lepas pengaruhnya dari media massa,yang mana dengan media massalah mereka berperang ketenaran nama mereka agar supaya dikenal oleh orang banyak. Dengan dikenal oleh orang banyak maka semakin mudahlah ia menyampaikan janji-janji mereka waktu kampanye untuk direalisasikan kelak ketika telah terpilih. Dalam hal inilah sanggat diperlukannnya dengan hadirnya sebuah media massa. Namun yang sangat disayangkan oleh media saat ini yaitu, telah terjadinya cinta segitiga antara media dan penguasa tidak ada penyeimbang akan informasi-informasi yang akurat dan yang harusnya hadirnya media adalah sebagai penengah, penjelas, sebagai sistem informasi yang jelas dan akurat agar masyarakat-masyarakat awam tau apa isi penguasa saat ini.

    BalasHapus