PSIKOLOGI FIR’AUN DAN TERJUNGKALNYA REZIM DIKTATOR



Oleh : Ahmad Sastra

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa setidaknya ada tujuh faktor yang bisa menjadikan seseorang menjadi pribadi sombong dan congkak. Tujuh faktor tersebut adalah : tahta, harta, ilmu, rupa, nasab, kesalihan dan pengikut.

Secara psikologis, manusia sejak pembentukan kepribadiannya sampai taraf kematangannya, senantiasa berusaha mengalahkan perasaan lemah yang bersifat alamiah yang ada pada dirinya. Hanya saja, perasaan demikian tidak jarang berubah dari proses pelurusan jiwa menjadi perasaan senang pada kekuatan, kekuasaan dan keangkuhan.

Kekuatan dan kekuasaan seringkali menjermuskan pada kesombongan dan kezaliman. Dalam sejarah perjalanan para Nabi dan Rasul senantiasa dihadapkan dengan para penguasa yang zalim lagi sombong. Kesombongan, kecongkakan, kezaliman dan kediktatoran fir’aun begitu jelas diabadikan dalam Al Qur’an.

fir’aun adalah contoh sempurna bagi puncak kediktatoran dan kesombongan manusia yang memiliki tahta, harta dan pengikutnya. Ketiganya telah menjadikan fir’aun mengaku-ngaku dirinya sebagai tuhan yang harus disembah. Siapapun yang tidak tunduk, maka akan mendapatkan siksanya dan dipenjara, inilah salah satu sifat pemimpin diktator.

Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, selain keturunan kaumnya dalam keadaan takut bahwa fir’aun dan para pemuka (kaum) nya akan menyiksa mereka. Dan sungguh fir’aun itu benar-benar telah berbuat sewenang-wenang di bumi, dan benar-benar termasuk orang yang melampaui batas (QS Yunus : 83)

Dia (fir’aun) berkata, “Sungguh, jika engkau menyembah Tuhan selain aku, pasti aku masukkan engkau dalam penjara” (QS Asy Syu’ara : 29).

Fir’aun selalu membanggakan kekuasaan yang dimilikinya dan menolak dakwah yang disampaikan oleh Nabi Musa sebagai utusan Allah. Dakwah Islam yang disampaikan Musa selalu menjadi bahan olok-olok dan tertawaan fir’aun. Fir’aun dengan sombongnya tetap mempertahankan kekufurannya, meski Nabi Musa memperlihatkan mu’jizat. Fir’uan bahkan menuduh Musa sebagai orang gila.

Maka, fir’aun itu pada setiap perilakunya, tindakannya, dan kelakuannya tidak jauh dari arogan, kejam dan tanpa aturan. Fir’aun itu ibarat kuman yang harus dibersihakan, buah busuk yang harus ditanggalkan dari rantingnya dan jiwa terlaknat yang harus dicabut dari tubuhnya.

Dengan kekuasaannya, fir’aun selalu membanggakan bahwa dirinya telah membangun insfrastruktur dan seluruh harta kekayaannya. Fir’aun juga membanggakan sungai Nil yang ada dalam genggaman dirinya. Fir’aun merendahkan Musa karena ditangan Musa tidak ada gelang dan perhiasan apapun.

Secara psikologis, kekuasaan dan harta telah mendorong jiwa fir’aun kehilangan kendali dan menjelma menjadi manusia rakus, sombong, zalim dan pemecah belah rakyat. Fir’aun telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya.

Keangkuhan, kesombongan dan arogansi adalah watak yang dibenci oleh Allah. Ketiganya merupakan penyakit kejiwaan yang seringkali menyerang penguasa. Psikologi abnormal ini, selain bisa merusak dirinya sendiri juga bisa merusak orang lain dan kehidupan yang lebih luas. Sebab kesombongan biasanya diiringi oleh kezaliman yang diharamkan oleh Allah.

Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diriKu dan Aku menjadikan haram diantara kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian saling menzalimin (Hadis Qudsi riwayat Muslim).

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong (QS 16 : 23). Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu (QS 67 : 29). Kemuliaan adalah kainku dan kesombongan itu adalah surbanku. Oleh karena itu, siapa saja yang merubut dariKu, Aku pasti akan menyisanya (Hadis Qudsi Riwayat Muslim)

Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sekali-kali kamu tidak akan bisa menembus bumi dan kamu sekali-kali tidak akan bisa setinggi gunung (QS 17 : 37).

Psikologi fir’aun bisa saja terjadi pada setiap kekuasaan jika tidak diimbangi oleh pemahaman agama yang baik. Ketiadaan orang yang memberikan nasehat juga akan menjadikan kekuasaan sebagai sumber kesombongan. Selain harta dan tahta, para pengikut dan pemuja fir’aun telah menjadikan dirinya lupa diri dan mengaku sebagai tuhan.

Selain faktor internal yang menyebabkan seseorang bisa terjerembab dalam psikologi fir'aun, sistem hidup yang berdasarkan demokrasi sekuler juga bisa menjadi faktor eksternal lahirnya watak-watak fir'aun ini. Demokrasi adalah sistem politik yang padat modal, sehingga hanya yang punya harta banyak yang bisa berkuasa. Demokrasi korporasi hanya mengantarkan orang kaya untuk berkuasa, bukan orang baik. Kedua, demokrasi mengabaikan aturan dan hukum Allah dan menjadikan manusia sebagai sumber hukum. Sebagaimana fir'aun juga adalah orang yang bikin aturan sendiri dan membangkang aturan Allah.

Perbedaan mendasar antara demokrasi dan Islam bisa dibaca dari prinsip dan asasnya. Bemokrasi berprinsip bahwa sumber hukum adalah dari manusia, hukum untuk dan demi manusia dan bisa diubah juga oleh manusia (dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat). Sementara prinsip ISlam adalah bahwa sumber hukum adalah dari Allah, hidup beribadah untuk Allah dan kelak diakherat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah (dari Allah, untuk Allah dan oleh Allah).

Maka tidak mengherankan jika di zaman modern ini tumbuh subur fir’aun-fir’aun kecil yang juga berlaku sombong, congkak, zalim dan memecah belah rakyat disebabkan kekuasaan dan harta. Meski tidak mengaku sebagai tuhan, namun fir’aun-fir’aun kecil era modern memiliki kesamaan sikap dengan fir’aun, bahkan tidak jarang lebih fir’aun dibanding fir’aun dulu.

Kesombongan presiden china bahwa tidak akan ada kekuatan yang mampu mengalahkan china telah dibalas oleh Allah dengan didatangkan virus corona yang mampu memporak-porandakan negara komunis itu. Ini hanya pengulangan sejarah, sebab Allah juga telah mendatangkan berbagai hewan kepada pemimpin sombong seperti fir’aun dan kaum pengikutnya.

Maka kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdusta (QS Al A’raf : 133) )

Meski fir’aun punya kekuatan dan kekuasaan, menjadikan dirinya pongah dan sombong merasuki jiwanya. Berbuat semau nafsu dan kecongkakannya, bahkan merasakan dirinya telah menjadi tuhan. Rakyat jelata dipaksa merangkak menyembah di bawah kaki busuknya. Firaun tetap larut dalam kekufurannya, namun, toh akhirnya dia terjungkal juga.

Fir’aun tersungkur hina di dasar lautan, digulung dan dilumat pasukan Allah. Ombak besar menelannya mentah-mentah. Akhirnya binasa dalam kehinaan yang tak terkira. Meski jasadnya kini masih ada sebagai pelajaran bagi manusia lainnya, bahwa semua rezim zalim dan sombong berumur pendek. Semua kekuasaan diktator, zalim, sombong dan pemecah belah rakyat pada akhirnya akan roboh terjungkal.

Maka Kami siksa dia (fir’aun) dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan kami susulkan laknat bagi mereka di dunia ini, sedangkan pada hari kiamat, mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah) (QS Al Qashash : 40-42)

(AhmadSastra,KotaHujan,22/02/20 : 23.00 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.