SETIAP PEMIMPIN AKAN DITEROR OLEH JANJINYA SENDIRI
Senin, Februari 24, 2020
0
Oleh : Ahmad Sastra
Kesiagaan aparat dalam upaya pelantikan presiden terus ditingkatkan dengan narasi akan adanya pihak yang menggagalkan. Aparat kepolisian begitu serius memperhatikan keamanan pejabat, tapi begitu abai atas keamanan rakyat yang justru makin terancam. Adalah anomali jika dikaitkan dengan kasus wamena yang bahkan sudah merenggut nyawa rakyat.
Adalah anomali juga ketika ada narasi seolah ada yang akan menggagalkan pelantikan presiden, namun rakyat justru disuguhi rencana kenaikan tarif BPJS dan tarif dasar listrik. Kenapa pelantikan seorang presiden yang konon kabarnya dipilih oleh mayoritas rakyat, yang mestinya disambut oleh kegembiraan, namun justru dibuat begitu menegangkan seolah akan terjadi perang.
Menggagalkan pelantikan presiden adalah istilah yang sulit untuk dimengerti. Itulah mengapa pihak keamanan juga tidak memberikan ilustrasi dan rincian bagaimana skenario pihak tertentu berupaya menggagalkan pelantikan presiden. Karena itu istilah menggagalkan pelantikan presiden adalah narasi yang berlebihan. Bahkan hingga pelatikan terjadipun tidak ada peristiwa apapun, aman-aman saja.
Sementara jika ada aksi masyarakat adalah bagian dari hak konstitusional yang dilindungi hukum, bukan gerakan makar. Sebab aksi masyarakat adalah cara lain untuk memberikan kritik atas kebijakan pemerintah dan ini biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada satupun pemimpin negara yang bebas dari kritik rakyat.
Adalah tidak bijak jika aparat keamanan melakukan tindakan kekerasan terhadap aksi-aksi mahasiswa atau masyarakat. Menyuarakan gagasan dan kritik adalah bagian dari kehidupan politik. Anti terhadap kritik adalah tanda kematian sebuah kekuasaan politik. Terlebih dalam sistem politik yang memang merupakan sistem politik yang kerap merugikan rakyat.
Karena itu jika presiden terpilih yakin merupakan pemenang pemilu dengan mendapat suara mayoritas, maka mestinya enjoy saja. Mestinya juga menyampaikan kesyukuran dan rasa kegembiraan kepada rakyat Indonesia. Sebab dengan membuat sebuah kondisi tegang, rakyat justru balik bertanya : ada apa sebenarnya ?. Secara psikologis, rakyat tidak bisa menikmati pelantikan presiden.
Yang bagus adalah bagaimana seorang presiden yang hendak dilantik memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Dia juga mestinya meminta maaf atas berbagai kasus keamanan yang telah merenggut nyawa rakyatnya, seperti kasus mahasiswa dan wamena. Mestinya seorang presiden menyampaikan bela sungkawa atas hilangnya nyawa rakyat, meski hanya satu orang, apalagi jika hingga ratusan.
Karena itu, pertanyaan apakah ada teror yang menghantui pelantikan presiden atau ada upaya menggagalkan tidaklah relevan. Sebab yang sesungguhnya menghantui presiden adalah janji-janjinya saat kampanye untuk mensejahterakan rakyat. Teror yang menghantui presiden adalah ketidakadilan, ketidakjujuran dan ketidakamanahan kelak ketika sudah sudah sah menjadi presiden.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin bersikap adil, jujur dan amanah, maka takada teror yang akan menghantuinya. Sebab seorang pemimpin hakekatnya adalah pelayan rakyat yang dipimpinnya.
Dalam perspektif Islam, menjadi pemimpin itu berat, sebab harus dipertanggungjawabkan kelak di akherat. Pemimpin yang adil akan mendapat hadiah surga, namun jika sebaliknya, maka siksa Allah telah menantinya. Itulah mengapa dalam tradisi Islam, kepemimpinan tidak untuk diperebutkan. Kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat, tidak semua orang mau dan mampu.
Bagi rakyat, kesalahan memilih pemimpin juga akan membawa kerugian di dunia dan akherat. Ketaatan kepada pemimpin dalam Islam juga telah ada ketetapan dari Allah. Ketaatan kepada pemimpin adalah ketika sang pemimpin taat kepada Allah dan RasulNya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya. Sebaliknya tidak wajib taat kepada pemimpin yang tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan kemaksiatan kepada Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW laa thoata li makhluqin fii maksiatil kholiq Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad). Dengan demikian ketaatan kepada pemimpin dalam pandangan Islam hanya jika pemimpin tersebut terikat kepada hukum dan aturan Allah SWT dalam merumuskan hukum dan perundang-undangan.
Maka jika pelantikan seorang pemimpin diawali dengan sumpah demi Allah dan menggunakan kitab suci Al Qur’an, maka hal itu terkandung makna yang sangat mendalam. Sumpah demi Allah adalah sumpah untuk taat kepada Allah, bukan sebaliknya. Sumpah dengan menggunakan Al Qur’an maknanya adalah sumpah untuk melaksanakan nilai-nilai Al Qur’an. Begitulah Islam mengajarkan kepada umatnya.
Inilah yang sesungguhnya harus dipikirkan oleh para pemimpin rakyat dimanapun. Amanah kepemimpinan adalah berat, maka tidak layak diperebuktan. Saat menjadi pemimpinpun sangat banyak godaan yang bisa menggelincirkan sehingga berbuat zolim kepada rakyatnya. Maka seorang pemimpin sesungguhnya akan dihantui oleh dirinya sendiri, apakah akan berbuat adil atau zolim.
[AhmadSastra,KotaHujan,17/10/19 : 23.55]
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags