KHILAFAHPHOBIA SEBAGAI PSIKO-ABNORMAL
Minggu, Februari 16, 2020
0
Oleh : Ahmad Sastra
Hegemoni wacana yang dikonstruksi Barat sebagai bagian dari proyek ambisius proxy war dengan target monsterisasi terhadap Islam, nampaknya telah membuahkan hasil. Hegemoni wacana sebagai bagian dari psycoterorism telah melahirkan islamophobia pada masyarakat Barat, bahkan hingga menjalar ke negara-negara Asia. Pasca peledakan menara kembar wallstreet centre yang konon dilakukan oleh mereka sendiri telah menghasilkan proyek war on terorism yang dimaknai sebagai perang terhadap Islam.
Efek domino dari islamophobia ini semakin hari semakin menjadi-jadi dan cukup mengkhawatirkan. Islamophobia dilakukan oleh individu maupun negara berupa penistaan, permusuhan, kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin. Mulai dari sekedar mencibir saat berpapasan dengan muslim hingga pengusiran, penyiksaan dan pembunuhan. Mulai dari pelarangan terhadap pakaian muslim hingga tuduhan teroris terhadap muslim. Mulai dari pelecehan terhadap ajaran Islam hingga pembakaran al Qur’an dan masjid-masjid. Mulai dari tuduhan muslim intoleransi hingga kriminalisasi terhadap ulama dan monsterisasi konsep khilafah.
Khilafahphobia-pun kini sedang terjadi di banyak negara Barat dan Timur, termasuk di Indonesia. Secara semantik kata khilafahphobia terdiri dari dua kata, khilafah dan phobia. Dalam kontek struktur frase atau kalimat, khilafah adalah obyek dan phobia adalah subyek. Sama halnya dengan phobia ketinggian, maka ketinggian manjadi obyek dari phobia. Dalam ilmu psikologi abnormal, permasalahannya bukan terletak kepada obyeknya, namun problemnya terletak pada manusianya [subyek] yang mengidap penyakit phobia.
Secara etimologi, kata fobia/fo·bia/ n dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti suatu ketakutan yang sangat berlebihan atau irasional terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya [an anxiety disorder characterized by extreme and irrational fear of simple things or social situations]. Phobia adalah rasa ketakutan kuat (berlebihan) terhadap suatu benda, situasi, atau kejadian, yang ditandai dengan keinginan untuk menjauhi sesuatu yang ditakuti itu.
Bedanya dengan rasa takut biasa, penyakit kejiwaan yang bernama phobia ini takut kepada obyek tertentu yang sebenarnya tidak menyeramkan untuk sebagain besar orang. Karena itulah oleh pada ilmuwan psikologi, phobia ini dimasukkan dalam bab psikologi abnormal. Dua pendekatan teori psikologi akan penulis hadirkan untuk mengkaji penyakit phobia ini kaitannya dengan khilafahphobia. Pertama teori psikoanalisa Freud dan teori behavioral.
Dalam teori Psikoanalisa Freud, phobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya. Karena itulah jika sejak kecil seorang anak ditakut-takuti oleh kegelapan dan hantu, maka setiap kali situasi malam atau gelap akan menjadi koneksi simbolik seolah pasti ada hantu, lalu timbul ketakutan yang berlebihan, padahal tidak ada yang salah dengan malam hari. Kata-kata awas ada ini awas ada itu yang ditanamkan orang tua sejak kecil kepada anaknya akan menimbulkan penyakit kejiwaan berupa ketakutan yang berlebihan yang disebut phobia.
Begitulah pula dengan kata khilafah yang dijadikan sebuah obyek untuk menakut-nakuti masyarakat akhir-akhir ini. Khilafah yang justru merupakan ajaran mulia Islam dikonstruk sedemikian rupa seolah sesuatu yang menyeramkan, buruk dan membahayakan terus ditanamkan melalui impuls-impuls id masyarakat tanpa memberikan kesempatakan kepada pikiran rasional untuk mengkajinya, maka lahirlah kondisi kejiwaan yang abnormal berupa khilafahphobia. Dalam konteks penyakit kejiwaan, maka yang salah bukanlah khilafah, namun ketakutan dan kecemaasan yang berlebihan [irasional] inilah yang menjadi masalah dan harus disembuhkan. Sebab phobia adalah penyakit kejiwaan yang bisa disembuhkan.
Dalam teori behavioral, proses pembelajaran merupakan cara berkembangnya phobia. Avoidance Conditioning. Penjelasan utama behavioral tentang phobia adalah reaksi semacam itu merupakan respons avoidance yang dipelajari [avoidance conditioning]. Formulasi avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.
Pertama melalui classical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan. Kedua, seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari atau menghindarinya. Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning; respons dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi ketakutan yang menguatkan.
Phobia juga bisa muncul melalui modelling berdasarkan vicarious learning dalam arti seseorang bisa mengalami gangguan kejiwaan berupa phobia terhadap obyek tertentu ketika mendapati orang yang yang dipercaya [tokoh] melakukan upaya-upaya verbal terhadap obyek tertentu yang akhirnya menimbulkan reaksi fobik. Jika seorang tokoh cendekiawan atau pemimpin komunitas selalu menakut-nakuti anggotanya tentang khilafah secara berulang kali, maka akan muncul reaksi fobik pada komunitas sosial itu terhadap khilafah. Padahal reaksi fobik itu bersifat emosional belaka, bukan rasional. Akhirnya melalui upaya verbal tokoh tersebut menimbulkan gangguan kejiwaan jamaahnya berupa khilafahphobia.
Inilah yang terjadi saat ini, kenapa banyak orang yang tiba-tiba mengidap penyakit kejiwaan khilafahphobia berupa ketakutan yang irasional terhadap khilafah yang justru sebuah konsep dan ajaran mulia dan terbukti mensejahterakan seluruh manusia. Islam oleh Allah adalah rahmatan lil’alamin, namun jika seseorang mengidap penyakit kejiwaan berupa islamophobia, maka Islam akan dianggap sebagai monster menakutkan. Islamnya tidak salah, namun penyakit phobianya yang harus disembuhkan. Dalam perspektif classical conditioning, khilafah sengaja dikondisikan sebagai kondisi yang menakutkan dengan cara dipasangkan dengan berbagai kejadian yang secara instrinsik menakutkan.
Dalam hal ini konsep khilafah disandingkan dengan perilaku ISIS yang biadab, maka timbullah ketakutan irasional. Padahal khilafah itu mulia, dan perilaku ISIS adalah kondisi buatan mereka. Padahal konsep khilafah tidak ada hubungannya sama sekali dengan ISIS justru bertentangan dengan Islam. Maka ISIS bukan Islam, tapi dikondisikan seolah berasal dari Islam.
Efeknya banyak masyarakat yang terjebak dengan psikoterorism ala Barat ini sehingga masyarakat justru takut dan menghindar dari konsep khilafah. Lebih dari itu kadang umat Islam sendiri justru membenci, menfitnah, memusuhi konsep khilafah dan para pejuangnya. Inilah kondisi dimana masyarakat mengalami penyakit kejiwaan berupa khilafahphobia karena berhasil dikondisikan oleh Barat melalui upaya monsterisasi syariah dan khilafah.
Konsep khilafah juga sering disandingkan dengan istilah anti kebinekaan, anti pancasila dan lainnya. Karena itu jika ada orang menolak khilafah, maka orang tersebut tengah mengalami gangguan kejiwaan [psiko-abnormal] berupa phobia yang harus segera disembuhkan. Reaksi fobik yang timbul dari impuls-impuls id tentang khilafah terus merebak hingga menimbulkan psiko-abnormal di masyarakat luas. Jika ada orang phobia hewan masih bisa dipahami saat melihat hewan tersebut, sementara khilafah itu sebuah konsep dan gagasan. Bagaimana bisa ada orang yang takut kepada gagasan yang baik bagi negeri ini, namanya juga phobia.
Khilafahphobia berdampak kepada kecacatan keterampilan sosial bagi pengidapnya. Dukungan terhadap model psikologi behavioral ini berasal dari berbagai penemuan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki kecemasan sosial memang memiliki skor rendah dalam tingkat keterampilan sosial (Twentyman & McFall, 1975) dan bahwa mereka tidak mampu memberikan respons pada waktu dan tempat yang tepat dalam interaksi sosial(Fischetti, Curran, Sr Wessberg, 1977) , misalnya melakukan berbagai tindakan terhadap orang-orang yang mendakwahkan syariah dan khilafah.
Perhatikan bagaimana perspektif rendahnya keterampilan sosial ini terkait dengan teori avoidance conditioning yang telah dikaji sebelumnya. Seseorang yang keterampilan sosialnya rendah memiliki kemungkinan menciptakan situasi yang menakutkan bersama orang lain. Dalam kaitan khilafahphobia, masyarakat Barat lantas memberikan berbagai gambaran yang menakutkan atas konsep khilafah ini. Ironi, orang Barat yang dikenal rasional, namun dalam isu khilafah, mereka justru mengalami gangguan kejiwaan yang irasional.
Dalam perspektif psikologi abnormal, gangguan kejiawaan berupa phobia ini bisa disembuhkan melalui terapi kognitif. Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih hesar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan memercayai bahwa kejadian negatf memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; Turk dkk.,2001).
lsu utama dalam teori kognitif adalah apakah kognisi tersebut menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun beberapa bukti eksperimental mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat menyebabkan kecemasan di laboratorium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab gangguan anxietas.
Berbagai studi terhadap orang-orang yang mengalami kecemasan sosial telah meneliti faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan fobia sosial. Orang-orang yang mengalami kecemasan sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang lain dibanding orang-orang yang tidak memiliki kecemasan sosial (Goldfried, Padawer, & Robins, 1984), lebih memerhatikan citra yang mereka tunjukkan pada orang lain (Bates, 1990), dan cenderung melihat diri mereka secara negatif walaupun mereka tampil dengan baik dalam suatu interaksi sosial (Wallace 61 Alden, 1997).
Selain menggunakan pendekatan teori kognitif, khilafahphobia juga bisa disembuhkan melalui lima pendekatan terapi psikologis berikut : [1] Flooding. Flooding dilakukan dengan cara exposure treatment yang ekstrim, yakni penderita phobia dimasukkan ke dalam ruangan kajian atau seminar khilafah. [2] Desentisisasi sistematis. Desentisisasi sistematis dilakukan dengan exposure treatment yang lebih ringan berupa rileksasi dan membayangkan berada di tempat yang sangat indah, nyaman, bahagia dan sejahtera dimana Islam diterapkan.
[3] Abreaksi. Abreaksi dilakukan dengan cara penderita khilafahphobia dibiasakan untuk membaca tentang konsep khilafah melalui berbagai media. [4] Reframing. Refreming merupakan cara menyembuhkan khilafahphobia dengan membayangkan kembali menuju masa lalu dimana permulaannya si penderita mengalami phobia. [5] Hypnotherapy. Hypnotherapy merupakan cara menyembuhkan khilafahphobia dengan memberikan sugesti-sugesti positif untuk menghilangkan khilafahphobia melalui berbagai training motivasi.
Dalam perspektif historis, orang-orang Arab yang mengalami Islam phobia sering disebut sebagai orang-orang jahiliyah. Predikat jahiliyah adalah kondisi dimana manusia didominasi oleh nafsu dan perasaan semata dengan mengabaikan akal pikiran. Kepercayaan yang irasional terhadap nenek moyang telah menutup akal orang-orang jahiliyah saat itu. Namun ketika diantara mereka mulai berfikir karena ajakan Rasulullah, maka banyak diantara mereka justru bertobat dan berbalik menjadi pejuang dan pembela Islam bersama Rasulullah. Karena itu jika masih ada manusia yang mengalami Islam phobia saat ini, maka layak disematkan kepada mereka sebagai jahiliyah modern.
Masyarakat jahiliyah dengan karakter susunan fisiologisnya tidak akan dapat menerima elemen muslim yang melakukan aktivitas dari dalam, kecuali jika aktivitas, energi dan kemampuan muslim tersebut sesuai dengan kepentingan masyarakat jahiliyah, serta mengokohkan kejahiyahannya. Mereka yang mengimajinasikan dirinya mampu melakukan aktivitas untuk kepentingan agamanya dengan cara terlibat dalam masyarakat jahiliyah dan beradabtasi dengan struktur dan perangkatnya (sistem pemerintahan) adalah orang-orang yang tidak mengenal karakter fisiologis masyarakat. Karakter ini yang memaksa setiap orang yang berada dalam masyarakat untuk beraktivitas sesuai dengan kepentingan, manhaj dan pemahaman masyarakat. Oleh karena itu, para Rasul yang mulia menolak untuk kembali kepada agama kaumnya, setelah menerka diselamatkan oleh Allah dari sana (Tafsir Fi Dhilal al Qur’an, juz IV hlm. 2092)
Karena itu dakwah dalam konsep Islam adalah mengajak manusia untuk memeluk Islam dengan cara melakukan pemahaman dan kesadaran melalui proses berfikir berlandaskan aqidah Islam. Sebab ketidakpahaman tentang konsep khilafah dan dominasi perasaan emosilah yang menjadi faktor utama timbulnya gangguan kejiwaan berupa khilafahphobia. Melalui pendekatan dakwah aqidah fikriyah, Rasulullah telah mengantarkan masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beriman dan berakal sekaligus. Dari transformasi masyarakat inilah kelak melahirkan peradaban Islam yang agung sepanjang masa sejak zaman Madinah hingga masa khilafah di Turki, hingga tahun 1924 H.
Sejalan dengan ungkapan Sayyid Qutb bahwa dakwah Islam memerlukan keimanan dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Keimanan dan tataran inilah yang akan menjadikan kebergantungan secara total kepada Allah, serta keyakinan bulat akan pertolonganNya kepada kebaikan serta perhitungan akan pahala di sisiNya, sekalipun jalannya sangat jauh. Orang yang bangkit untuk memikul tanggungjawab ini tidak akan menunggu imbalan di dunia, atau penilaian dari masyarakat yang tersesat dan pertolongan dari orang-orang jahiliyah dimana saja” (Perubahan Mendasar Pemikiran Sayyid Qutub, 2001 : 21)
Para Rasul yang mulia tidak pernah menerima tawaran untuk berbaur dalam masyarakat jahiliyah. Mereka tidak pernah mengatakan sebagaimana statemen mereka yang tidak memahami hakekat islam dan struktur fisiologis masyarakat tersebut : baik, kita akan berbaur dengan agama mereka, supaya kita mengaplikasikan dakwah kita dan membantu aqidah kita melalui celah-celah mereka. (Tafsir Fi Dhilal al Qur’an, juz IV hlm. 2101).
Akhirnya, mesti menjadi renungan seluruh kaum muslimin bahwa khilafahphobia yang melanda orang-orang Barat sesungguhnya merupakan gangguan kejiwaan yang bisa disembuhkan melalui dakwah pemikiran yang konsisten dan mendalam hingga menghilangkan dominasi perasaan menjadi manusia rasional. Berapa banyak orang Barat yang rasional dan jujur melihat Islam justru mereka merbondong-bondong masuk Islam.
Dakwah adalah cinta. Dakwah berarti mencintai orang-orang yang sedang mengalami gangguan kejiwaan untuk ditolong agar sembuh dari penyakitnya. Sebab orang-orang Barat mungkin belum banyak tersentuh oleh dakwah Islam kaffah ini. Karena itu teruslah berjuang wahai para pengemban dakwah, cintai orang-orang yang memusuhi kaliah hingga mereka menyadari kekeliruan mereka. Semoga dengan dakwah, masyarakat Barat segera sembuh dari gangguan kejiawaan mereka dan menjadi masyarakat rasional dan masuk ke dalam Islam untuk ikut menjadi pejuang agama Allah ini.
[AhmadSastra,KotaHujan,16/02/20 : 22.45 WIB]
_______________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags