FILSAFAT ISLAM SEBAGAI INTERPRETASI EPISTEMOLOGIS



Oleh : Ahmad Sastra

Setelah kita mempelajari filsafat baik definisi maupun tokoh-tokoh penggagasnya. Kini kita akan melihatt lebih mendalam tentang Islam. Bagaimana pula dengan adanya postulat: Filsafat Islam. Adalah filsafat Islam itu ?

Term filsafat Islam jika ditinjau secara etimologis terdiri dari dua kata, yaitu ‘filsafat’ dan ‘Islam’. Kata Islam dijadikan sebagai kata sifat filsafat. Filsafat secara etimologis menurut al khuwarizmi dimaknai sebagai kecintaan terhadap hikmah, kebaikan, intelengensi, pengatahun, pengalaman praktis (muhibb al hikmah) atau mahabbah al hikmah menurut pandangan al Syahrastani.

Adapun kata ‘Islam’ secara etimologi menurut ibn Manzur berasal dari kata aslama-yuslimu – islam sama dengan istislam yang berarti inqiyad (kepatuhan). Dalam konteks syariat, kata ‘islam’ secara etimologi bermakna: izhar al hudu’ (menampakkan ketundukan). Dari sisni kata ‘Islam’ diartikan dengan ketundukan kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Secara terminologi kata filsafat oleh al Kindi diartikan sebagai pengetahuan mengenai hakekat sesuatu berdasarkan kemampuan manusia. (al Kindi, Rasail al Kindi al Falsafiyyah, ed. Abu Ridah, Cairo, 1950, juz 1 h. 97). Al Farabi secara terminologi dimaknai sebagai disiplin yang hanya mengkaji pertama-tama mengenai al makulat (pernyataan-pernyataan), sedangkan al maqulat berisi bahan (matter) secara mutlak, yang tidak disebutkan mana yang berbentuk zat dan tidak, mana yang pertama dan tidak, dan mana yang daruri dan tidak dengan kata lain filsafat adalah pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri (al Farabi, Syarh al farabi li Kitab Aristutalis fi al Ibarah, Beirut, 1960, h. 22).

Ibn Qayyim al Jawziyyah mendefinisikan filsafat secara terminologis sebagai paham atau isme selain agama para nabi, atau ajaran yang bersumber dari akal murni. Orang yang menekuninya disebut falasifah. Namun, ulama mutaakhir hanya memakai term tersebut dengan konotasi paham aristoteleanisme dan pengikutnya atau kaum peripatetis (masya’iyyun). (Ibn Qayyim, Ighathah al Lahfam min Masayid al Syaytan, ed. Muhammad al Faqqi, 1996. h. 257).

Ibn Khaldun mendefinisikan filsafat dengan pengetahuan yang membahas bahan (matter) dan kondisi wujud tertentu, baik yang dapat diindera maupun tidak (metafisika), melalui sebab dan alasan-alasannya dengan menggunakan anzar fikriyyah (analisis rasional) dan aqyisah ‘aqliyyah (analogi logik). ( Ibn Khaldun, Mukaddimah. H. 568).

Adapun terkait pengertian istilah Islam secara terminologis didefinisikan oleh Mahmud Syaltut sebagai agama Allah yang ajarannya (ta’alim) dalam bidang ushul dan syari’ahnya diwasiatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kepada beliau tanggungjawab untuk menyampaikan dan menyerukan kepada semua umat manusia diberikan. (Mahmud Syaltut, al Islam ‘Aqidatan wa Syari’atan, Darul Qalam, cet. III 1966. H. 9). Menurut ‘Atif al Zayn Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, sesamanya juga dengan dirinya. (‘Atif al Zayn, al Islam, h. 66).

Dengan demikian antara filsafat dan Islam memiliki kesamaan dari sisi ruang pembahasannya. Keduanya punya sebuah pandangan terhadap realitas yang dijadikakan sebagai ‘aqidah’ dan ‘syariah’ nya. Bedanya adalah terkait sumbernya. Filsafat menyumberkan kepada akal murni, sedangkan Islam menyumberkan kepada wahyu. Artinya penisbatan filsafat kepada Islam tentu saja tidak menemukan relevansinya. Kata islam yang dijadikan sifat filsafat tidak dapat mengindikasikan filsafat tersebut sebagai kajian keislaman, namun lebih tepat sebagai penisbatan pembahasan kepada orang yang menggagasnya, yakni filosuf muslim.

Jadi yang disebut sebagai filsafat Islam lebih tepat jika disebut sebagai filsafat muslim atau filsafat yang digagas oleh orang Islam. Atau sebuah kajian yang dideskripsikan berdasarkan penggagasnya, bukan karena isinya sesuai dengan Islam. Sementara itu, penggunaan term ‘filsafat Islam’ dengan konotasi pandangan yang digagas oleh orang Islam, sebenarnya tidak tepat. Sebab sifat ‘Islam’ dalam kontek ‘filsafat Islam’ seharusnya merujuk kepada asas, obyek dan metode kajian Islam. Contohnya seperti penggunaan istilah Islam untuk menyebut aqidah Islam atau fiqh Islam. Term kedua bisa diterima sedangkan term pertama (filsafat Islam) tidak bisa diterima karen alasan diatas. (Muhammad Maghfur W, Koreksi atas kesalahan Pemikiran kalam dan Filsafat Islam, al Izzah, 2002, h.62).

Untuk menghindari kesalahan interpretasi, filsafat islam lebih tepat jika disebut sebagai filsafat muslim atau menurut pandangan Majid fakhri sebagai filsafat Arab merujuk kepada sebuah bangsa yang menggagas kajian tersebut, sebagaimana term filsafat Yunani dan filsafat Persia. Bisa juga dinisbatkan kepada orangnya seperti filsafat hegel, Filsafat marx, Filsafat Al Kindi, Filsafat Al farabi dan lainnya.

Filsafat Islam dengan demikian merupakan term yang tidak islami dan karenanya tidak layak diadopsi. Istilah filsafat Islam hanya sekedar interpretasi epistemologis yang subyektif. Sebab dua hal yang saling bertentangan dari segi asas, obyek dan metode tidak mungkin bisa disatukan dalam sebuah konsep yang utuh. Akibat term fisafat Islam dibenarkan oleh banyak kaum muslimin, akhirnya kaum muslimin banyak yang terjebak dengan istilah lain yang berbahaya seperti demokrasi Islam, Asuransi Islam, sosiologi Islam dan lainnya. Istilah-istilah rancu ini berkembangan pesat baik di kalangan kaum muslimin umumnya, juga berkembang di kalangan akademisi.

Sebagaimana diakui oleh akademisi Kartanegara (2006) bahwa filsafat Islam itu ada. Menurutnya filsafat Islam terbagi menjadi empat aliran yakni: 1) Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).

2) Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.

3) Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.

4) Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas. Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali.

Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengankuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.

Logika sederhananya, bagaimana dua hal yang saling bertentangan disatukan menjadi sebuah konsep pemikiran. Ingat ide gila Soekarno tentang nasakom? Soekarno ingin menggabungkan tiga ideologi yang saling bertentangan secara paradigmatik yakni Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Ketiganya tidak mungkin bisa disatukan. Ibarat air dan minyak tanah, jika disatukan akan berubah menjadi zat baru yang sulit diberikan definisikan apalagi dimanfaatkan zatnya.

Untuk diminum tidak mungkin dan untuk dijadikan bahan bakar juga tidak mungkun. Antara minyak dan air, nasakom dan antara filsafat dan Islam memiliki kesamaan : sama-sama tidak bisa disatukan. Sebab dua ideologi yang saling bertentangan tidak akan pernah bisa disatukan. Benturan ideologi adalah sebuah keniscayaan jika tidak hendak dikatakan harus terjadi. Benturan islam dengan peradaban kufur akan selalu berbenturan hingga akhir masa. Upaya menyatukan ideologi Islam dengan peradaban Barat kufur bukan hanya perbuatan sia-sia melainkan sebuah kebodohan. Kaum liberal adalah salah satu entitas yang saya maksud. Menyatukan Islam dengan peradaban Barat adalah menyatukan yang haq dan yang batil.

Islam adalah diin perjuangan sejak saat Rasulullah Muhammad saw. Islam memerintahkan untuk berdakwah secara terang-terangan hingga akhir zaman nanti. Ketika Rasulullah saw. Diperintahkan untuk menyampaikan risalah yang dibawanya secara terbuka, mulailah terjadi pertarungan pemikiran antara konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep kufur. Pertarungan pemikiran ini terus berlanjut hingga masa sekarang ini. Pertarungan pemikiran ini tidak akan pernah berhenti dan memang tidak boleh berhenti, sekalipun kemudian muncul berbagai bentuk pertarungan lainnya. Pertarungan pemikiran dilakukan dengan jalan menentang pemikiran pemikiran-pemikiran kufur secara tajam, lugas, dan tegas. Rasulullah saw telah menunjukkan teladan dalam melaksanakan perintah Allah ini, sebagaimana digambarkan dalam al-Quran :

Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya. (QS al-Anbiya [21]: 98)

Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya. (QS al-Qalam [68]: 11-13)

Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi mendustakan, benar-benar akan memakan pohon Zaqqum, dan akan memenuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus. Itulah hidangan untuk mereka pada hari Pembalasan. Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan hari berbangkit? (QS al-Waqi’ah [56]: 51-57)

(AhmadSastra,2020)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.