ULAMA DAN GERAKAN PERADABAN
Senin, Januari 20, 2020
0
Oleh : Ahmad Sastra
Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, jang mempujai sipat-sipat sendiri pula. Islam tak usah ‘demokratis’ 100%, bukan pada otokrasi 100%, Islam itu……jah, Islam”. (M. Natsir, Kapita Selecta : 453). Ungkapan penggagas partai Masyumi ini adalah salah satu pemikiran dan keyakinannya saat menanggapi pujian Soekarno kepada Kemal Attaturk yang mengubah ideologi Islam di Turki menjadi negara demokrasi Barat.
Dr. Mohammad Natsir adalah salah satu contoh ulama pergerakan melalui pemikiran peradaban Islam dan praktek nyata di lapangan. Selain seorang pemikir, beliau juga seorang pendidik dan ulama. Berbagai karya nyata beliau telah torehkan seperti berdirinya perguruan tinggi, DDII, Pesantren dan bahkan rumah sakit. Pemikiran Islam M. Natsir telah banyak memberikan inspirasi pergerakan perjuangan Islam di Indonesia.
Mengomentari pemikiran Natsir, HAMKA pernah menulis, “ M Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, adalah suatu pandangan-hidup jang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudajaan. Baginja Islam itu adalah sumber dari segala perdjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap matjam pendjadjahan : eksploitasi manusia atas manusia ; pemberantasan kebodohan, kedjahilan, pendewaan dan djuga sumber pembantrasan kemelaratan dan kemiskinan. Nasionalisme hanyalah langkah menuju persatuan manusia dibawah lindungan dan keridhaan ilahi. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Sebab itu, Islam itu adalah primair”.
Karena itu tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat, sebab istilah washatiyah adalah istilah yang berasal dari khasanah Al Qur’an, sementara istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Tanpa diberikan embel-embel moderat, Islam adalah agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta.
Toleransi seagama [tasamuh] sejak awal dibangun oleh Rasulullah, Sahabat, tabiin, atba tabiin, imam mujtahid dan kekhilafahan. Toleransi antaragama dalam Islam terbangun indah saat, di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekuasaan Bani Ummayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, muslim dan hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Di Mesir umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak khulafaur Rasyidin.
Secara etimologi, makna al wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan [Mufradat al Fazh Al Qur’an, Raghib Al Isfahani jil II entri w-s-th]. Bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih. Karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau : tengah kota [At Tahrir wa At Tanwir jil II hal 17].
Umat wasath yang dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih karena mendapatkan petunjuk dari Allah. Jalan lurus dalam surat al Fatihah adalah jalan tengah diantara jalan orang yang dibenci [yahudi] dan jalan orang sesat [nasrani] [Tafsir Al Manar jil. II hal 4]. Karakter umat washtiyah ada empat : Umat yang adil, Umat pilihan [QS Ali Imran : 110], Terbaik dan Pertengahan antara ifrath [berlebihan] dan tafrith [mengurangi] [Tafsir Al Rari, jil. II hal 389-390]. Makna washatiyah dalam perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat dalam pandangan Barat.
Islam memang agama pergerakan dan perjuangan. Perjuangan itu berat dan merupakan zona tidak nyaman. Tidak semua muslim bisa bertahan dalam medan perjuangan. Rasulullah menolak ditawari zona nyaman oleh kaum kafir Quraisy untuk menduduki jabatan pimpinan dalam rezim mereka, bahkan akan diberikan wanita, harta dan jabatan dengan syarat meninggalkan zona tidak aman dakwah Islam.
Dengan nada penuh keyakinan, Rasulullah menjawab, “ Bahkan jika mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti berdakwah, maka aku tidak akan pernah berhenti dakwah hingga diri ini mati di jalan juang atau Islam ini tegak mendapat kemenangan”.
Nabi Musa memilih zona tidak aman untuk melakukan dakwah dan perjuangan melawan kezaliman raja fir’aun, hingga Allah memberikan pertolonganNya. Fir’aun terkubur dan terhina bersama gelombang laut yang menggulung kesombongannya.
Nabi Musa bersama Harun diperintah Allah menyampaikan dakwah Islam ke depan jantung istana fir’aun, dengan resiko kehilangan nyawa atau dipenjara. Sebab perjuangan memang adanya di zona tidak aman.
Entah apa yang terjadi jika Nabi Musa memilih tetap tinggal di istana fir’aun dan menikmati segala fasilitas istana dan meninggalkan dakwah dan perjuangan Islam. Untunglah Nabi Musa dan Nabi Harun tidak memilih zona aman dalam perjuangannya.
Para ulama pejuang dan pahlawan negeri ini rela dibuang dan dibunuh demi mempertahankan tanah pertiwi milik Allah ini dengan mengobarkan perlawanan melawan penjajah Belanda. Mereka menolak segala bentuk kompromi meskipun hendak diberikan segala kemewahan duniawi dan berada di zona aman.
Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, Cut Nya Dien, Tengku Umar, Imam Bonjol memilih zona tidak aman untuk mempertahankan Islam di bumi nusantara ini. Entah apa yang terjadi dengan negeri ini andai mereka bergabung dengan penjajah dan menjadi pengkhianat. Untunglah mereka memilih zona tidak aman dalam dakwah dan perjuangan.
Pergerakan dan perjuangan itu bukan di zona aman, melainkan di zona tidak aman, begitulah para Nabi telah memberikan pelajaran hidup untuk kita hari ini. Sebab tidak ada rumus rugi dalam setiap langkah perjuangan, meski harta dan nyawa harus dikorbankan.
Wafatnya satu ulama adalah kehilangan salah satu pilar agama. Sebab ulama adalah aset bangsa yang tak bisa tergantikan. Bangsa ini telah kehilangan aset paling berharga, jika ditinggal ulama. Tak mudah melahirkan kembali ulama yang sama, jika tidak hendak dikatakan mustahil. Ulama adalah pencerah dalam kegelapan kehidupan, penjaga moral bangsa sekaligus pengawal visi religius berbangsa dan bernegara. Dalam arus politik sekuleristik, peran ulama dalam meluruskan arah bangsa sangat dibutuhkan. Karena itu program PKU MUI adalah salah satu ikhtiar umat yang strategis untuk melahirkan dan menjaga para ulama di negeri ini dan seluruh dunia Islam.
Ilmu dan ulama adalah dua kata yang saling berkaitan. Ulama adalah orang berilmu. Secara garis besar ulama terbagi tiga (1) yang mengenal Allah; (2) yang memahami perintah Allah; (3) yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya. Ulama yang mengenal Allah adalah mereka yang takut kepada Allah, namun tidak memahami Sunnah. Ulama yang memahami perintah Allah adalah mereka yang memahami Sunnah, tetapi tidak takut kepada Allah. Adapun ulama yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya adalah mereka yang memahami Sunnah dan takut kepada Allah. Inilah orang yang disebut-sebut dengan kebesaran di kerajaan langit (HR al-Baihaqi, Syu’âb al-Imân).
Dalam perspektif Islam, ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi, termasuk di dalamnya Nabi Muhammad saw., tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu yang bersumber dari wahyu. Siapa saja yang menguasai ilmu syar’i serta menghiasi keyakinan dan amal perbuatannya dengan ilmu tersebut layak disebut sebagai ulama pewaris para nabi. Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu itu, ia mengambil bagian yang banyak (HR Abu Dawud).
Agama Islam bukan saja menghargai ilmu tetapi meletakkan ilmu dengan posisi yang sangat istimewa. Allah berfirman dalam banyak ayat al-Qur’an supaya kaum Muslimin memiliki ilmu. Keistimewaan tersebut tampak sekali dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang memerintahkan supaya mendalami ilmu. Allah berfirman : Apakah sama, orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran. (QS Az Zumar : 9). Allah mengangkat orang-orang yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat. (QS Al Mujaadilah : 11) dalam Surat Ali Imran Allah berfirman hendaklah kalian jadi generasi rabbani [orang yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Rasulullah saw juga bersabda: Barangsiapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memasukkannya ke salah satu jalan di antara jalan-jalan surga, dan sesungguhnya malaikat benar-benar merendahkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang alim benar-benar akan dimintakan ampun oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang yang ada. Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan Dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, maka hendaklah dia mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Daud).
Ali bin Abi Talib ra. berkata : “Ilmu lebih baik daripada harta, oleh karena harta itu kamu yang menjaganya, sedangkan ilmu itu adalah yang menjagamu. Harta akan lenyap jika dibelanjakan, sementara ilmu akan berkembang jika diinfakkan (diajarkan). Ilmu adalah penguasa, sedang harta adalah yang dikuasai. Telah mati para penyimpan harta padahal mereka masih hidup, sementara ulama tetap hidup sepanjang masa. Jasa-jasa mereka hilang tapi pengaruh mereka tetap ada/membekas di dalam hati.”
Ulama pewaris nabi adalah orang-orang yang mengetahui ajaran Nabi saw., baik yang menyangkut perkara-perkara akidah maupun syariah. Mereka pun berusaha menyifati budi pekerti dan seluruh amal perbuatan beliau dengan ilmu yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Mereka takut berpaling atau dipalingkan dari syariah Islam karena makrifatnya yang sempurna kepada Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.
Ulama pewaris nabi adalah mereka yang rela menerima celaan, hinaan, intimidasi, pengusiran bahkan pembunuhan demi mempertahankan kemurniaan Islam dan membela kepentingan kaum Muslim. Ulama pewaris nabi bukanlah mereka yang plintat-plintut dalam berfatwa, menyembunyikan kebenaran, menukar kebenaran dengan kebatilan, serta mengubah pendirian hanya karena iming-iming dunia atau mendapat ancaman dari penguasa zalim. Mereka rela dipenjara dan disiksa demi mempertahankan kebenaran dan menentang kebatilan.
Ulama pewaris nabi menyadari sepenuhnya bahwa dunia tidaklah kekal abadi. Dunia adalah permainan, tipudaya dan cobaan bagi dirinya. Cinta dunia akan memalingkan dirinya dari akhirat yang kekal abadi. Bahkan cinta dunia merupakan sebab kehancuran jatidiri ulama. Seorang ulama tidak akan mengambil dunia kecuali sekadar yang ia butuhkan untuk menopang kehidupan dirinya dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Sebaliknya, ia berusaha meraih ilmu sebanyak-banyaknya, dan menghabiskan waktunya untuk kepentingan kaum Muslim.
Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali menyatakan, “Ulama terdiri dari tiga kelompok. Pertama: Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang dengan terang-terangan mencari dunia dan rakus terhadap dunia. Kedua: Ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang menyeru manusia kepada Allah lahir dan batin. Ketiga: Ulama yang membinasakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Mereka adalah ulama yang mengajak ke jalan akhirat dan menolak dunia secara lahir, tetapi dalam batinnya ingin dihormati manusia dan mendapatkan kedudukan yang mulia. Karena itu perhatikan pada golongan mana Anda berada.” (Al-Ghzali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Juz III).
Dalam Islam banyak teladan ulama yang berani melawan arus kebijakan pemerintah sebagai prinsip keyakinannya. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam, yang menyandang gelar Sulthân al-‘Ulamâ’, rela dipenjara di balik jeruji untuk mengungkap pengkhianatan Sultan Malik Shalih di Syam yang bersekongkol dengan orang-orang Kristen untuk melawan Sultan Najmuddin Ayyub di Mesir. Sultan Ismail memberikan daerah Qal’ah, Shafd, dan daerah-daerah lain kepada orang Kristen. Bahkan ia membolehkan orang-orang Kristen memasuki Kota Damaskus untuk membeli persenjataan perang sesuka hati mereka demi memerangi Sultan Najmuddin Ayyub.
Melihat perbuatan mungkar ini, Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam segera bertindak mencegah perbuatan para pengkhianat itu. Beliau rahimahulLâh mengeluarkan fatwa larangan menjual senjata kepada orang-orang Kristen. Pada hari Jumat, beliau naik mimbar Masjid al-Umawi di Damaskus—beliau adalah khathib resmi di Masjid Umawi—dan mengumumkan fatwa itu. Dengan tegas dan keras, beliau menentang tindakan mungkar yang telah mengkhianati umat Islam tersebut.
Raja Ismail pun murka. Ia lalu mencopot jabatan khathib Jumat dan menangkap beliau dan Syaikh bin Hajib al-Maliki yang mendukung fatwa beliau. Sultan mengeluarkan instruksi kepada beliau untuk mendekam di dalam rumah, tidak boleh mengeluarkan fatwa kepada masyarakat, dan melarang siapa pun berguru kepada beliau. Namun, beliau menjalani semua cobaan itu dengan penuh kesabaran.
Keteguhan Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam berpegang teguh pada syariah Islam juga tampak pada saat beliau berada di Mesir dan menjadi kepala qâdhî di sana di era Sultan Najmuddin Ayyub. Beliau mengeluarkan fatwa tentang kedudukan para pemimpin negara di Turki, yang menurut beliau, mereka masih terikat dengan perbudakan yang belum mereka tebus. Karena belum merdeka maka jual-beli dan pernikahan mereka tidak sah. Untuk itu, mereka wajib menebus diri mereka dengan membayar sejumlah uang kepada Baitul Mal.
Mendengar fatwa ini, para mamalik Turki marah besar. Mereka terpukul dan malu dengan fatwa tegas nan lurus ini. Meskipun beliau ditekan dan dirayu, beliau sama sekali bergeming dengan fatwanya. Akhirnya, para mamalik Turki itu tidak mampu berbuat banyak kecuali menuruti fatwa Imam Al-‘Izz. Mereka membayar sejumlah uang. Lalu uang itu digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.
Namun kematian adalah taqdir Allah, tak mungkin dimundurkan atau dimajukan. Jika ajal seseorang telah sampai, maka tak seorangpun mampu menahannya. Tinggal kita yang ditinggalkan harus mampu mengambil ibrah dan pelajaran. Pelajaran berharga dari wafatnya seorang ulama adalah pentingnya bersungguh-sungguh mencari ilmu, mengamalkan dan mengajarkannya. Selain itu penting dicatat, meninggalnya seorang ulama adalah menyadarkan akan pentingnya konsistensi dan keberanian memperjuangkan nilai-nilai Islam hingga bisa diterapkan dan dirasakan sebagai rahmatan lil’alamin atau kematian menjemput dalam jalan dakwah dan perjuangan.
Ulama adalah pejuang dan pergerakan demi membela agama Islam. Banyak ulama yang berdiri di garda terdepan dalam melawan hegemoni kolonialisme. Tuanku Imam Bonjol (Minangkabau,1772-1864) melawan kolonial Belanda melalui gerakan Padri. Pangeran Diponegoro (Yogyakarta, 1785-1855) melawan kolonial Belanda. Kyai Mojo (Yogyakarta, 1872) melawan kolonial Belanda dan Cut Nyak Dien (Aceh) yang melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda.
Ada juga berbagai gerakan perlawanan yang dipimpin oleh para ulama di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa contoh gerakan perlawanan itu adalah sebagai berikut : Gerakan Rifa’iyah (Kyai Hasan Rifai, Pekalongan, 1850), Gerakan Haji Jenal Ngarip (Kudus,1847), Gerakan Ahmad Ngisa (Karang Kobar, 1871), Gerakan Kyai Kasan Mukmin (Surabaya, 1904), Perlawanan Bekasi tahun 1869, Perlawanan Ciomas (1886), Perlawanan Cilegon (1888), Perlawanan Kyai Darmajaya (Nganjuk, 1907) dan Perlawanan Cimarame (1919).
Berbagai kesultanan Islam juga pernah berdiri tegak melawan penjajahan di Nusantara. Diantaranya adalah : Kesultanan Aceh, Kesultanan Samudra Pasai, Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Islam Goa-Talo, Bone dan Wajo, Kerajaan Islam di Maluku dan Kerajaan Islam di Nusa Tenggara.
Struktur masyarakat Islam dalam perspektif pergerakan dan perjuangan ulama terdiri dari tiga : EKONOMI : berbasis pada perdagangan di pelabuhan dan pasar, POLITIK : termanifestasi kepada kerajaan atau kesultanan dan AGAMA : teraktualisasi dalam kelembagaan pendidikan di pesantren (Jawa), Dayah (Aceh) dan Surau (Sumatra Barat). Sementara gerakan tasawuf terdiri dari dua tujuan : PERTAMA, membentuk kader, guru dan mubaligh agar mampu mengajarkan dan menyebarkan Islam di daerah asalnya serta meneruskan jejak gurunya. KEDUA, melalui karya-karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh di luar tempat tinggal mereka. Aceh abad 17 adalah pusat literasi Islam oleh pada ulama dan sufi.
Ada beberapa organisasi sebagai pelopor pergerakan Islam di Indonesia yakni : Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam yang anti-komunis (HOS Cokroaminoto, Agus salim dan Kartosuwiryo,1912), Muhammadiyah (Ahmad Dahlan,1912), Al Irsyad (Ahmad Muhammad Surkati,1914), Persatuan Islam (Persis) (A. Hasan,M. Natsir 1923), Nahdlatul Ulama (Kyai Hasyim Asy’ari, 1926), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) (1930) dan MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia) 1937.
Dengan demikian seorang ulama adalah ahli ilmu yang berjiwa pejuang dengan melakukan gerakan peradaban di berbagai aspeknya. ULAMA adalah bagian penting dari berdirinya Indonesia. ULAMA selain sebagai ilmuwan juga merupakan pejuang. ULAMA adalah aset bangsa Indonesia paling besar. ULAMA harus terus dikader dan dijaga. ULAMA bergerak atas perintah Allah, bukan karena kepentingan duniawi. ULAMA melakukan gerakan pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan budaya demi kejayaan Islam.
(AhmadSastra,KotaHujan,20/01/20 : 09.30 WIB) _________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags