Oleh : Ahmad Sastra
Imam 'Ali bin Abi Tholib menegaskan bahwa ada enam syarat untuk para penuntut ilmu : kecerdasan, kemauan, kesabaran, biaya, bimbingan guru dan waktu yang panjang.
Sosok empat Imam Mazhab adalah figur-figur yang bukan hanya dijadikan sebagai rujukan mazhab fiqh bagi kaum muslimin sedunia, namun mereka juga pantas dijadikan sebagai teladan dalam hal menuntut ilmu, hingga mereka bisa mancapai derajat mujtahid. Bagi pengikut Imam Abu Hanifah biasa disebut Hanafiyyah. Bagi pengikut Imam Asy Syafi’i disebut sebagai Syafiiyah. Bagi pengikut Imam Ahmad bin Hanbal disebut sebagai Hanabilah. Pengikut Imam Maliki bin Anas disebut sebagai Malikiyah. Namun apakah setiap muslim sudah meneladani generasi terbaik tabi’in dan tabi’at tabi’in ini dalam kesungguhannya menuntut ilmu ?. Semoga tulisan ini bisa memberi inspirasi.
Meskipun keempat Imam Mazhab memiliki perbedaan dalam pola pengambilan istimbat hukum, namun mereka adalah teladan dalam kesungguhan sebagai penuntut ilmu. Imam Abu Hanifah menggunakan metode rasional [thariq ar ra’y]. Imam Malik bin Anas menggunakan metode sunnah [ahl as sunnah]. Imam Syaf’i menggunakan metode konvergensi rasional dan sunnah [al jami’] yakni metode naqli dan aqli secara bersamaan. Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode ittiba’ yang cenderung berdasarkan sunnah dengan pendekatan teori mashlahah al mursalah dan ‘sadd adz dzara’i, tanpa menggunakan rasio dan analogi.
Imam mazhab pertama adalah Imam Abu Hanifah [80 H – 150 H] memiliki nama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zauthah bin Ma’ah. Tinggal di pusat pemerintahan dua dinasti Umayyah dan Abbasiyah yakni di kota Kufah, menjadikan Imam Abu Hanifah dilingkari oleh pergumulan berbagai pemikiran, sekte keagamaan, dan sirkulasi kekuasaan. Kota Kufah adalah juga pusat berkembangnya ilmu bahasa Arab, ilmu Hadist, nahwu, sejarah, sastra dan ilmu fiqh semenjak dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Oleh Abu Hanifah, kota Kufah disebut sebagai kota ilmu [Madinatul ‘Ilm].
Spirit menuntut ilmu Imam Abu Hanifah sangat tinggi hingga menjadi ahli fikih dan ilmu kalam yang par-excelence. Beliau telah bergaul baik dengan beberapa sahabat Rasulullah saw, berguru kepada lebih dari 93 orang tabi’in dan jumlah guru yang menjadi tempatnya belajar mencapai 300 orang. Kegiatan bisnisnya terhenti karena kesibukannya menuntut ilmu, mengajar dan berfatwa. Beliau pernah mengalami proses uzlah yang oleh al Hujwiri, Imam Abu Hanifah disebut sebagai salah saorang waliyullah. Tokoh-tokoh sufi seperti Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Dawud ath-Tha’i dan Bisyr al-Hafi pernah berguru kepada Imam Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah pernah mengatakan bahwa,’ Barang siapa mempelajari ilmu demi harta duniawi, maka ia tidak akan memperoleh keberkahan dari ilmu dan justru membuat hatinya menjadi bodoh. Dan barang siapa mempelajari ilmu karena Allah, maka amal perbuatannya akan diberkahi dan hatinya dicerdaskan serta orang-orang yang dapat mengambil ilmu darinya akan memperoleh berkah juga’. Katanya lagi,’ orang yang tidak mengetahui argumentasi dan dalilku, tidak pantas untuk berfatwa menggunakan pendapatku’.
Imam Abu Hanifah adalah orang yang sangat dermawan, berpenampilan dan berpakaian menawan dan wangi, fasih dalam bicara, sangat lembut intonasi bicaranya, rendah hati, banyak diam, kuat nalar dan argumentasinya, terpercaya dalam memegang amanah, sederhana dalam bicara, kehati-hatian yang tinggi, tidak berkata jika tidak diminta dan selalu bersabar menghadapi hinaan dan cercaan orang lain kepada dirinya. Beliau meninggal pada usia 70 tahun dimakamkan di pekuburan Khaizran.
Imam mazhab kedua adalah Imam Malik [93-179 H] yang memiliki nama lengkap Malik bin Anas bin Abu Amir bin Amr bin Ghiman bin Khutsail bin Amr bin Harits. Imam Malik tinggal di Madinah hingga wafat tahun 179 H, beliau sangat mencintai kota Madinah karena hendak bertentangga dengan Rasulullah. Saking hormatnya kepada Rasulullah, Imam Malik tidak pernah mengendarai tunggangan apapun saat di Madinah. ‘Sungguh aku merasa malu jika naik suatu kendaraan, yang kakinya menginjak bumi, yang tanahnya memuat jasad Rasulullah saw’, katanya.
Lahir dari seorang ibu bernama Ghaliyah binti Syuraik dan ayah yang tidak bisa berjalan, seorang pembuat anak panah untuk menafkahi keluarga bernama Anas. Kakek Imam Malik yakni Malik bin Abu Amir adalah salah satu Tabi’in yang meriwayatkan hadist dari Umar, Thalhah, Aisyah, Abu Hurairah dan Hasan bin Tsabit membuat Imam Malik tumbuh dalam lingkungan keluarga yang selalu berorientasi dan mencintai ilmu serta periwayatan hadist.
Imam Malik memulai belajar dengan menghafal Al Qur’an dan Al Hadist, karena beliau dianugerahi daya ingat yang sangat kuat. Karena kecerdasannya, Imam Malik mempelajari banyak ilmu dan memahami fiqh dalam waktu singkat. Di usia yang ke 17 tahun, Imam Malik telah direkomendasikan oleh 70 orang guru, termasuk Rabiah dan Az Zuhri untuk menjadi pengajar. Bahkan guru-gurunya kemudian justru belajar kepada Imam Malik di Masjid Nabawi Madinah, tempat Imam Malik meriwayatkan hadist, memberi fatwa dan mengajar.
Menurut Imam Malik, ada empat kriteria orang yang tidak pantas diambil ilmunya dari mereka. Pertama adalah orang bodoh. Kedua orang yang sering memperturutkan hawa nafsu, sering berbuat maksiat. Ketiga, orang yang sering berdusta dan menyeru kepada kesesatan. Keempat orang yang tidak memahami isi kandungan dari apa yang diucapkan, meski dia seorang ahli ibadah.
Imam Malik mampu menghafal semua yang didengarnya dan juga mampu menuliskan apa yang dihafalnya. Namun, dia hanya akan menyampaikan ilmu yang dipandang memiliki kemaslahatan bagi manusia, tidak semua disampaikan. Tiga peti catatan tangan Imam Malik yang dibaca oleh Ahmad bib Shaleh menyamai 12 ribu hadist sebagai representasi pembicaraan penduduk Madinah saat itu. Imam Malik oleh ulama digelari sebagai ruh kota Madinah.
Imam Malik wafat pada usia 90 tahun dan dimakamkan di Baqi’. Peninggalan ilmu Imam Malik menurut catatan Imam Adz Dzahabi adalah Al Muwaththa’, Risalah fi al Qadar, Mu’allaf fi an Nujum wa Manazil al Qomar, Risalah fi al Aqdhiyyah, Risalah ila Abi Ghassan Muhammad bin Mathruf, Risalah Adab ila ar Rasyid, Kitab as Sirr, Al Mudawwanah al Kubra, At Tafsir li Gharib al Qur’an dan As Siyar.
Terkait kesungguhan menuntut ilmu, Imam Malik pernah berpesan kepada para penuntut ilmu bahwa seseorang tidak akan dapat memperoleh ilmu, hingga bersiap untuk dihantam oleh kefakiran dan mau memprioritaskan pencarian ilmu dari yang lainnya. Artinya jika telah bersiap diri untuk menjadi pecinta ilmu, maka harus bersiap diri menjadi faqir dari harta.
Imam mazhab ketiga adalah Imam Syafi’i [150-204 H] yang bernama lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin Sya’ib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Abd al Muthallib bin Abd Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka[ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nadzar bin Ma’ad bin Adnan bin Uddi bin Udah. Lahir di Gaza Palestina dan saat usia 2 tahun dibawa hijrah ibunya ke Makkah. Nasab Imam Syafi’i bertemu dengan Rasulullah dari pada kakeknya, yakni Abd Manaf bin Qushai. Ibunya yang sangat berperan dalam perkembangan keilmuwan Imam Syafi’i bernama Yaminah dari kabilah Azdi.
Imam Syafi’i banyak mendalami sastra Arab dari suku Huzhail dan banyak menghafal puisi dari bangsa Arab serta gramatikanya. Banyak menghafalkan hadist dan pembahasan masalah dari para gurunya di Masjidil Haram. Beliau belajar keilmuwan dari Syaikh Muslim bin Khalid az Zanji dan belajar hadist dari mahaguru hadist bernama Sufyan bin Uyainah.
Setelah menghafal al Qur’an, Imam Syafi’i menghafal hadist dan menuliskannya di tulang-belulang sebagai media untuk menulis periwayatan hadis dan masalah-masalah agama lainnya. Setelah semua tulang belulang telah habis, Imam Syafi’i menuliskan ilmu di tempayan tua milik ibunya. Rumah Imam Syafi’i dipenuhi oleh tulang belulang yang berserakan yang bertuliskan berbagai ilmu yang dimilikinya. Karena ketinggian ilmunya, Imam Syafi’i telah memberikan fatwa agama saat berusia 15 tahun, sebagaimana diterangkan oleh al Mundzir at Taymimi dalam Adab asy Syafi’i wa Manaqibuhu.
Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik saat berusia 13 tahun dan mampu menghafal kitab al Muwatha’ dengan baik yang membuat Imam Malik sangat mengagumi kemampuan Imam Syafi’i. Hidup di zaman kekhalifahan Harun ar Rasyid, Imam Syafi’i mendalami ilmu hadist dari Ibn Uyainah dan il,u Fiqh dari Muhammad bin Hasan.
Terkait kesungguhan mencari ilmu, Imam Syafi’i pernah berpesan,’ Tidakkah aku berdiskusi dengan seseorang, melainkan aku sangat ingin yang bersangkutan bisa menunjukkan kesalahanku. Dan jika hatiku tidak memiliki solusi suatu permasalahan, aku berharap agar pendapat mitra diskusiku diterima setiap orang’.
Imam mazhab keempat adalah Imam Ahmad bin Hanbal [164-241 H] yang bernama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad adz Dzuhali asy Syaibani al Marwazi. Namanya dinisbatkan kepada kakeknya, bukan kepada ayahnya, kakeknya seorang wali kota Sarkhas dan ayahnya seorang tentara daulah Abbasiyah. Nasab Imam Ahmad sampai kepada Rasulullah dari kakeknya Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah sosok pecinta ilmu hadist yang melakukan perjalanan panjang untuk menemui para syaikh hadist untuk menerima periwayatan hadist. Mempelajari hadist sejak berusia 15 tahun dari 20 syaikh hadist. Perjalanan mencari ilmu dari Bashrah, Hijaz, Kufah, Yaman hingga ke Mekkah berguru ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh dari Imam Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah sosok yang sangat sederhana dalam hal kehidupan. Memakai pakaian kasar dan jarang makan. Merasa bahagia justru saat dirinya tidak memiliki harta. Sebab menurut keyakinan Imam Ahmad, kemiskinan selalu beserta dengan kebaikan. Imam Syafi’i pernah berkata,’ sewaktu saya keluar dari kota Baghdad, tidak ada orang yang saya kenal di sana yang lebih mengetahui fiqh, lebih zuhud, lebih wara’, dan lebih pintar daripada Ahmad bin Hanbal’.
Selanjutnya Imam Syafi’i berkata,’Ahmad bin Hanbal adalah imam yang unggul dalam delapan kondisi, imam dalam ilmu hadist, imam dalam ilmu fiqh, imam dalam kajian ilmu al Qur’an, imam dalam ilmu bahasa, imam dalam sunnah, imam dalam sikap zuhud, imam dalam sikap wara’ dan imam dalam kondisi faqir.
Meski memiliki kekuatan menghafal yang tinggi, namun dalam pengajaran, Imam Ahmad sesalu mengandalkan catatan. Imam Ahmad bin Hanbal menjadi referensi para ulama pada zamannya. Hidup pada masa kepemimpinan khalifah Harun Ar Rashid dan al Makmun, menjadikan Imam Ahmad hidup dalam lingkungan zaman keemasan Islam.
Saat ditanya tentang kesungguhan mencari ilmu, ‘Wahai Imam, hingga kapankah Anda akan terus mencari ilmu, padahal Anda telah sampai kepada kedudukan yang terhormat ini dan telah menjadi imam bagi kaum muslimin ?. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab,’ dengan tinta akan kubawa hingga kuburan’.
Semoga tulisan ini menambah wawasan sekaligus motivasi bagi kaum muslimin untuk lebih bersungguh-sungguh menuntut ilmu sebagai cahaya bagi hati dan amal serta pencerah bagi kehidupan manusia yang kian diselimuti oleh kabut kegelapan ini.
(AhmadSastra,KotaHujan,27/09/17 : 06.30 WIB)
________________________________________
Website : https://www.ahmadsastra.com
Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1
Facebook : https://facebook.com/sastraahmad
FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76
Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial
Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
SPIRIT DAN TELADAN IMAM MAZHAB DALAM MENUNTUT ILMU
Kamis, Januari 02, 2020
0
Tags