JANGAN KULIAH DI KAMPUS LIBERAL
Jumat, Januari 31, 2020
0
Oleh : Ahmad Sastra
Cukup memprihatinkan karena akhir-akhir ini banyak kampus liberal menjamur. Proyek liberalisme tumbuh subur di kampus-kampus Islam. Alih-alih menjadi kampus penjaga agama Allah dari penetrasi paham liberal, justru banyak kampus Islam yang menjadi agen liberalisme ini.
Gerakan misionaris dan orientalis sejak hampir tiga abad yang lalu kini berbuah lebat. Barat mengakui tak akan memang jika melawan semangat jihad kaum muslimin. Mereka mengambil strategi baru dengan cara westernisasi kaum muslimin dengan cara memberikan beasiswa. Para misionaris Barat melakukan serangan tehadap Islam atas nama ilmu pengetahuan (epistemologi).
Mega proyek peradaban ini diwujudkan dengan langkah-langkah konkret. Di akhir abad 16 mereka mendirikan markas misionaris di Malta. Markas ini dijadikan sebagai basis serangan misionaris terhadap dunia Islam dan dari sinilah agen-agen itu diutus. Pada tahun 1834 M, para delegasi misionaris telah tersebar di Syam.
Di desa ‘Antsurah, Libanon dibuka satu fakultas. Kemudian dari Malta di utus delegasi Amerika ke Bairut untuk mencetak buku-buku dan menyebarkannya. Salah satu misionaris terkenal Amerika Willie Smith, menggerakkan misi ini dengan fenomenal. Selain menyebarkan berbagai bulletin, Smith juga membukan sekolah khusu wanita di Bairut.
Bermula dari sejarah misionaris inilah, maka lahirlah generasi muslim yang pemikirannya terbaratkan. Istilah Barat dalam kontek ini adalah paham sekulerisme. Setelah menempuh studi di Barat, maka mereka kembali ke kampus masing-masing dan membawa nilai-nilai sekulerisme liberalisme ke kampus. Dengan pendekatan interpretasi hermeneutika, maka kampus itu akhirnya berorientasi liberalisme.
Penetrasi filsafat dalam kajian-kajian studi Islam sering berperan besar dalam pola dekonstruksi ajaran Islam melalui apa yang disebut sebagai metode ilmiah. Metode ilmiah inilah pula yang telah menipu dan menyeret kaum intelektual muslim hingga mereka merasa bangga dengan pendekatan baru studi Islam kontemporer ini. Inilah cikal bakal lahirnya kaum liberal di dunia Islam.
Atas nama pengembangan intelektualitas mahasiswa, kampus-kampus liberal banyak melakukan seminar ilmiah tentang liberalisme dipandang dari berbagai sudut. Kampus-kampus liberal dengan bangga menghadirkan tokoh-tokoh liberal yang pada ujungnya mereka hanya merusak Islam. Banyak proyek penelitian juga yang didanai asing untuk menebarkan paham sesat dan menyesatkan ini.
Barat terus melakukan kaderisasi agen hermeneutika dengan menyekolahkan kaum muslimin di kampus-kampus misionaris di Barat. Akibatnya muncullah kaum intelektual liberal yang kerjanya hanya mengacak-acak Islam dengan pemikiran yang cenderung ngawur dan dangkal. Dalam bahasa jawa, saenake udele dewe. Mereka mempermainkan berbagai postulat dalam Islam seenak nafsunya sendiri. Tidak berlebihan jika hermeneutika disebuat sebagai ‘tafsir al ngawuriyu’, interpretasi orang-orang ngawur.
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Filosof Aristoteles pernah menggunakan istilah ini untuk judul kitabnya, Peri Hermeneias. Kitab itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi De Interpretationne dan kedalam bahasa Inggris, On the Interpretation.
Aristoteles tidak membahas teks atau membuat kritik atas teks. Tapi, ia hanya mengupas peran ungkapan [postulat] dalam memahami pikiran. Kata benda, kata kerja, ungkapan, dan kalimat yang berkait dengan bahasa menjadi bagian kajiannya. Lafal Hermeneutika adalah derivasi (musytaq) dari Bahasa Yunani dari akar kata hermeneuin, artinya menafsirkan. Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-ibaroh (ungkapan).
Konstruksi epistemologi hermeneutika didasarkan oleh aliran pemikiran sekuleristik, liberalistik, pluralistik, skeptisistik, ateisitik, permisifistik, relatifistik dengan tujuan dekonstruksi epistemologi Islam. Filsafat hermeneutika adalah bagian dari ghozwul fikr yang bermuara kepada imperialisme epistemologi. Hasilnya umat Islam menjadi ragu kepada agamanya sendiri karena telah terjadi sinkretisme, pelarutan dan pembaratan ajaran Islam.
Tokoh-tokoh barat pengusung westernisasi yang melahirkan hermeneutik adalah : Rene Descartes (m. 1650), Jonh Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), George Friedrich Hegel (m. 1831), Ludwig Feurbach (m. 1872), Karl Marx (m. 1887), Charles Robert Darwin (m. 1882), August Comte, Sigmund Freud (m. 1939), Friedrich Nietzsche (m. 1900), Friedrich Schliermacher, Wilhem Dilthey, Emilio Betti dan Gadamer.
Tokoh utama pengusung hermeneutika di dunia Islam adalah Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir) yang telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996, juga Arkoun dari Afrika Utara yang kini di Eropa, serta Fazlur Rahman yang harus hengkang dari Pakistan ke Chicago Amerika. Kini para penerus mereka bertebaran di Indonesia dan bermarkas di berbagai perguruan tinggi Islam.
Interpretasi subyektif spekulatif ini dapat ditemukan contohnya di buku A Brief Story Of Time karya Stephen Hawking, fisikawan teoritis yang ateistik. Teori singularitas gravitasi yang mencoba mengkombinasi antara fisika dan metafisika dengan mengemukakan empat prinsip utama yakni tuhan sejatinya tidak ada, bukan tuhan yang menciptakan alam semesta, surga dan neraka hanyalah dongeng semata dan manusia sejatinya bisa hidup kekal. Namun kematiannya telah mampu membantah teori spekulasinya sendiri. Dan kini Hawking harus dihadapkan dengan Tuhan yang diingkarinya sendiri.
Hingga zaman modern, menurut penelusuran Richard E. Palmer, terdapat enam definisi hermeneutika berdasarkan pada perkembangan yang telah dilewatinya.Masing-masing definisi mewakili zaman dan bentuk hermeneutika sebagaimana dipahami oleh para penggiatnya. Keenam definisi tersebut bisa disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik, filsafat, fenomenologi eksistensi dan sistem interpretasi.
Beberapa Perguruan Tinggi Islam kini telah menetapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadits. Bahkan menurut sejumlah akademisi di UIN tertentu, hermeneutika sudah menjadi madzhab resmi kampus mereka, karena kuatnya pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini. Para mahasiswa diarahkan menulis skripsi atau tesis dengan menggunakan metode hermeneutika menggantikan ilmu tafsir klasik.
Filsafat hermeneutika sebagai sistem interpretasi berfungsi menjauhkan kaum muslimin dari berbagai istilah Islam dan mengaburkan maknanya (confuse of knowladge). Berbagai istilah seperti ‘islam liberal, islam nusantara, islam moderat, islam fundamental, islam pluralisme, islam multikulturalisme, islam radikal’, dan sejenisnya adalah produk filsafat hermeneutika untuk melemahkan pemahaman kaum muslim sekaligus memecah belah, sebagaimana kaum kristen yang telah terpecah belah. Istilah-istilah diatas adalah propaganda Barat untuk menyerang dan melumpuhkan Islam.
Nah karena itu, untuk pada calon mahasiswa, jangan pernah kuliah di kampus-kampus liberal. Sebab karena bahayanya bagi studi agama, MUI pada tahun 2005 telah menfatwakan haram atas paham liberalisme, sekulerisme dan pluralisme agama ini. Jika pahamnya haram, maka mengadopsi juga haram. Mungkin MUI juga harus membuat fatwa haram bagi mahasiswa yang kuliah di kampus yang jelas-jelas berorientasi liberalisme, demi menjaga akidah generasi kaum muslimin.
[AhmadSastra,KotaHujan,23/09/19 : 23.45 WIB]
Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags