Oleh
: Ahmad Sastra
Ulama
adalah panutan bagi umatnya, sebab ulama adalah pewaris para Nabi.
Ulama adalah orang yang sejatinya paling memahami persoalan keumatan
dan mencarikan solusinya dengan metode ijtihad. Ulama adalah mereka
yang hanya takut dan mengabdi kepada Allah, bukan yang mengabdi
kepada rezim penguasa.
Ulama
yang takut kepada penguasa atau yang mengetuk pintu-pintu istana
adalah ulama yang dikecam oleh Islam. Sebab semestinya para
penguasalah yang mendatangi pintu rumah atau masjid para ulama untuk
menanyakan berbagai persoalan. Ulama yang mempermainkan agama dan
fatwa demi mendapat dunia rezim adalah bentuk menjual agama dengan
harga yang murah.
Hal
ini sejalan dengan firman Allah : janganlah kamu menukarkan
ayat-ayatKu dengan harga yang rendah, dan kepada Akulah kamu harus
bertaqwa… (QS Al Baqarah : 41). Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepadaKu. Dan janganlah kamu
menukar ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit (QS Al Maidah : 44).
Karena
itu antara ilmu (pemahaman) dan ulama adalah dua kata yang saling
berkaitan. Ulama adalah orang berilmu yang dengan ilmunya menjadi
pencerah dan solusi atas persoalan keumatan. Secara garis besar ulama
terbagi tiga (1) yang mengenal Allah; (2) yang memahami perintah
Allah; (3) yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya. Ulama yang
mengenal Allah adalah mereka yang takut kepada Allah, namun tidak
memahami Sunnah.
Ulama
yang memahami perintah Allah adalah mereka yang memahami Sunnah,
tetapi tidak takut kepada Allah. Adapun ulama yang mengenal Allah dan
memahami perintah-Nya adalah mereka yang memahami Sunnah dan takut
kepada Allah. Inilah orang yang disebut-sebut dengan kebesaran di
Kerajaan Langit (HR al-Baihaqi, Syu’âb al-Imân).
Dalam
perspektif Islam, ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi, termasuk
di dalamnya Nabi Muhammad saw., tidak mewariskan harta, tetapi
mewariskan ilmu yang bersumber dari wahyu. Siapa saja yang menguasai
ilmu syar’i serta menghiasi keyakinan dan amal perbuatannya dengan
ilmu tersebut layak disebut sebagai ulama pewaris para nabi.
Nabi
saw. bersabda: Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi
tidak mewariskan dinar maupun dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu.
Siapa saja yang mengambil ilmu itu, ia mengambil bagian yang banyak
(HR Abu Dawud).
Agama
Islam bukan saja menghargai ilmu tetapi meletakkan ilmu dengan posisi
yang sangat istimewa. Allah berfirman dalam banyak ayat al-Qur’an
supaya kaum Muslimin memiliki ilmu. Keistimewaan tersebut tampak
sekali dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang
memerintahkan supaya mendalami ilmu.
Allah
berfirman : Apakah sama, orang-orang yang mengetahui dengan orang
yang tidak mengetahui?” Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang
bisa mengambil pelajaran. (QS Az Zumar : 9). Allah mengangkat
orang-orang yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu dengan beberapa derajat. (QS Al Mujaadilah : 11) dalam Surat Ali
Imran Allah berfirman hendaklah kalian jadi generasi rabbani [orang
yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah], karena kamu selalu
mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Rasulullah
saw juga bersabda : Barangsiapa melalui satu jalan untuk mencari
ilmu, maka Allah akan memasukkannya ke salah satu jalan di antara
jalan-jalan surga, dan sesungguhnya malaikat benar-benar merendahkan
sayap-sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu, dan sesungguhnya
seorang alim benar-benar akan dimintakan ampun oleh makhluk yang ada
di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air. Dan
sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah)
adalah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang
yang ada. Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan Dinar ataupun dirham, mereka
hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, maka hendaklah
dia mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Daud).
Ali
bin Abi Talib ra. berkata : “Ilmu lebih baik daripada harta, oleh
karena harta itu kamu yang menjaganya, sedangkan ilmu itu adalah yang
menjagamu. Harta akan lenyap jika dibelanjakan, sementara ilmu akan
berkembang jika diinfakkan (diajarkan). Ilmu adalah penguasa, sedang
harta adalah yang dikuasai. Telah mati para penyimpan harta padahal
mereka masih hidup, sementara ulama tetap hidup sepanjang masa.
Jasa-jasa mereka hilang tapi pengaruh mereka tetap ada/membekas di
dalam hati.”
Ulama
pewaris nabi adalah orang-orang yang mengetahui ajaran Nabi saw.,
baik yang menyangkut perkara-perkara akidah maupun syariah. Mereka
pun berusaha menyifati budi pekerti dan seluruh amal perbuatan beliau
dengan ilmu yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Mereka
takut berpaling atau dipalingkan dari syariah Islam karena
makrifatnya yang sempurna kepada Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.
Ulama
pewaris nabi adalah mereka yang rela menerima celaan, hinaan,
intimidasi, pengusiran bahkan pembunuhan demi mempertahankan
kemurniaan Islam dan membela kepentingan kaum Muslim. Ulama pewaris
nabi bukanlah mereka yang plintat-plintut dalam berfatwa,
menyembunyikan kebenaran, menukar kebenaran dengan kebatilan, serta
mengubah pendirian hanya karena iming-iming dunia atau mendapat
ancaman dari penguasa zalim. Mereka rela dipenjara dan disiksa demi
mempertahankan kebenaran dan menentang kebatilan.
Ulama
pewaris nabi menyadari sepenuhnya bahwa dunia tidaklah kekal abadi.
Dunia adalah permainan, tipudaya dan cobaan bagi dirinya. Cinta dunia
akan memalingkan dirinya dari akhirat yang kekal abadi. Bahkan cinta
dunia merupakan sebab kehancuran jatidiri ulama. Seorang ulama tidak
akan mengambil dunia kecuali sekadar yang ia butuhkan untuk menopang
kehidupan dirinya dan orang-orang yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Sebaliknya, ia berusaha meraih ilmu sebanyak-banyaknya, dan
menghabiskan waktunya untuk kepentingan kaum Muslim.
Hujjatul
Islam, Imam al-Ghazali menyatakan, “Ulama terdiri dari tiga
kelompok. Pertama: Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain.
Mereka adalah ulama yang dengan terang-terangan mencari dunia dan
rakus terhadap dunia. Kedua: Ulama yang membahagiakan dirinya dan
orang lain. Mereka adalah ulama yang menyeru manusia kepada Allah
lahir dan batin. Ketiga: Ulama yang membinasakan dirinya sendiri dan
membahagiakan orang lain. Mereka adalah ulama yang mengajak ke jalan
akhirat dan menolak dunia secara lahir, tetapi dalam batinnya ingin
dihormati manusia dan mendapatkan kedudukan yang mulia. Karena itu
perhatikan pada golongan mana Anda berada.” (Al-Ghzali, Ihyâ’
‘Ulûm ad-Dîn, Juz III).
Oleh
karena itu, sebagai ulama yang menjadi rujukan umat, jangan sampai
gagal paham soal narasi radikalisme dan moderatisme yang digaungkan
Barat kafir. Ulama jangan justru larut dalam genderang ghozwul fikr
yang ditabuh musuh-musuh Islam. Mestinya ulama justru melakukan
serangan balik kepada Barat (kontra narasi), jangan malah ikut
membenci dan menyalahkan kaum muslimin, apalagi menyalahkan Islam.
Salah
satu postulat yang kini tengah gencar ditebarkan oleh Barat melalui
berbagai corong media mereka adalah atribut Islam radikal atau
istilah radikalisme. Sebagai strategi adu domba sesama muslim, maka
Baratpun membuat istilah tandingan kontra radikalisme yang disebut
dengan islam moderat. Baik Islam radikal maupun Islam moderat,
keduanya adalah istilah yang diproklamirkan Barat untuk menyerang
Islam itu sendiri.
Islam
moderat beberapa waktu yang lalu menjelma menjadi Islam Nusantara
yang sempat menyulut polemik. Pengikut Islam moderat mengklaim
dirinya sebagai penebar Islam washatiyah, padahal secara
epistemologis, istilah washatiyah tidaklah sama dengan kata moderat.
Islam moderat justru lebih banyak mempropagandakan nilai-nilai Barat
dibandingkan Islam itu sendiri.
Sekali
lagi, secara epistemologi, istilah radikal dan moderat adalah istilah
yang datang dari filsafat Barat, sementara istilah washatiyah dan
kaffah adalah istilah yang berasal dari terminologi al Qur’an.
Karena itu tidak mungkin memiliki kesamaan makna antara istilah dari
Barat dengan istilah yang datang dari Al Qur’an. Begitupun istilah
Islam rahmatan lil’alamin yang berasal dari al Qur’an, sementara
term Islam Nusantara tidak ditemukan dengan jelas asal-muasalnya.
Namun
ironisnya proxy war Barat dengan langkah hegemoni wacana yang
jelas-jelas sebagai cara menyerang Islam justru diamini oleh
negara-negara muslim di dunia, termasuk di Indonesia, Saudi dan
Mesir. Hal ini sejatinya bisa dipahami, sebab Indonesia dan
negara-negara muslim adalah negara yang menerapkan ideologi
kapitalisme sekuler yang secara diametral bertentangan dengan
ideologi Islam.
Maka
untuk melanggengkan kekuasaan dan ideologi ini, mereka melakukan
langkah monsterisasi ajaran Islam dengan memberikan stigma radikal
kepada muslim yang ingin menerapkan Islam secara kaffah dan memuji
muslim yang pro ideologi kapitalisme sekuler sebagai Islam moderat.
Sebab
faktanya pengikut Islam moderat biasanya menolak formalisasi syariah
oleh negara atau dengan kata lain anti khilafah. Padahal konsep
khilafah merupakan ajaran Islam, sebagaimana ajaran Islam lainnya
seperti aqidah, akhlak, ibadah dan muamalah. Menyamakan istilah
washatiyah dengan moderat akan melahirkan epistemologi oplosan yang
menyesatkan umat.
Strategi
Barat untuk menyerang Islam ini merupakan propaganda busuk yang harus
disadari oleh seluruh kaum muslimin. Hal ini sejalan dengan firman
Allah : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu [QS Al Baqarah [2] :
208]
Seiring
menguatnya hegemoni wacana dengan serbuan istilah-istilah Barat
disertai melemahnya kemampuan Bahasa Arab di kalangan kaum muslimin,
maka propaganda serangngan Barat terhadap Islam melalui isu
radikalisme ini justru mendapat sambutan positif dari negeri-negeri
muslim.
Prof.
Dr. Soheir Ahmad as-Sokari, ahli linguistik di berbagai universitas
besar, di antaranya Georgetown University mengutarakan bahwa Barat
telah melakukan penghancuran kemampuan bahasa Arab generasi muslim,
yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan umat Islam.
Padahal
kalau kita cermati, siapa sesungguhnya yang radikal, Islam atau
barat. Siapa sesungguhnya yang jahat dan zolim, barat kafir atau
Islam. Para ulama mestinya membuka mata atas tragedi kezoliman China
atas muslim Uighur, Myanmar atas muslim Rohingya, Israel atas muslim
Palestina, Rusia atas muslim Tatar dan India atas muslim Kashmir.
Lebih
hina lagi jika ada seorang muslim justru menyatakan muslim Uighur
sama dengan separatis Papua. Ini adalah pernyataan menjijikkan dan
bentuk penghianatan atas Allah dan RasulNya. Sebab pernyataan itu
bentuk pengakuan atas penyiksaan muslim Uighur oleh Cina komunis,
namun bukannya membelanya, malah justru mendukung kaum komunis ateis,
semoga Allah melaknatnya.
Maka,
oleh karena itu, ulama janganlah justru menjadi orang-orang yang
menghamba dan membudak kepada rezim penguasa dan mengkhianati Allah
dan RasulNya. Takutlah hanya kepada Allah, jangan takut kepada dunia,
cintailah ilmu dan agama, jauhkan dari cinta kepada harta dan tahta
dunia. Sebab keburukan dan kejahatan ulama akan menjadi bencana
kehidupan bagi suatu bangsa dan peradabannya.
(AhmadSastra,KotaHujan,18/12/19
: 13.00 WIB)
__________________________________________
Website : https://www.ahmadsastra.com
Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1
Facebook : https://facebook.com/sastraahmad
FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76
Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial
Instagram : https://instagram.com/sastraahmad