Oleh : Ahmad Sastra
Jika tahun 2018 kata terorisme menjadi kata paling populer, maka berbeda dengan tahun 2019, dimana dua kata yang paling populer adalah kata radikal dan khilafah. Bahkan ada yang istimewa, sebab dua kata ini justru dipopulerkan oleh Barat yang notabene sangat memusuhi Islam. Mereka mencoba membangun stigma negative atas ajaran Islam khilafah sebagai gerakan radikal.
Narasi terorisme yang telah gagal total membuat Barat menggunakan istilah radikal sebagai jebakan dan jeratan kepada kaum muslimin agar tertipu. Tuduhan radikal oleh Barat ditujukan kepada muslim yang ingin memperjuangkan Islam secara kaffah. Sementara oleh rezim Indonesia, istilah radikal ditambahkan dengan orang yang mengkritik dan berseberangan dengan pemerintah.
Tidak hanya sampai disitu, radikalisme oleh pemerintah diindikasikan orang yang hendak mengubah Pancasila, UUD 45, bhineka tunggal ika dan NKRI. Sementara secara serampangan dan tidak paham, ajaran Islam khilafah dijadikan sebagai target tuduhan. Al hasil, HTI sebagai salah satu ormas yang menyuarakan tegaknya khilafah berhasil dicabut BHP nya oleh rezim.
Bahkan ada seorang profesor yang telah 24 tahun menjadi guru besar Pancasila justru dikriminalisasi hanya karena menjadi saksi ahli dalam persidangan terkait masalah hukum HTI. Dengan penuh kejahatan dan kebodohan, kini sang profesor justru dijuluki sebagai profesor radikal. Tak kalah cerdik, justru sang profesor kini menjadi agen radikal dalam arti ramah, terdidik dan berakal, meski kini dia harus kehilangan pekerjaannya sebagai dosen.
Tak tanggung-tanggung, pemerintah baru periode kedua secara khusus dan serius menugaskan beberapa menteri untuk menangkal radikalisme ini. Bahkan ada SKB 11 menteri yang secara khusus menyoroti ASN yang dituding terpapar paham radikal. Inti dari SKB 11 menteri adalah peringatan keras kepada ASN yang mengkritik dasar dan pilar negara serta pemerintahan.
Dari sinilah kata radikal menjadi perbincangan paling populer oleh hampir semua komponen masyarakat. Hampir setiap hari kajian tentang radikalisme dari berbagai perspektif hilir mudik di sosial media. Ada yang secara cerdas mencoba mencerahkan masyarakat bahwa istilah radikal adalah narasi barat untuk mengkriminalisasi muslim dan Islam.
Ada pula yang dengan kebodohannya menganggap radikal sebagai bentuk manifestasi ajaran Islam yang berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Ada pula yang justru memplesetkan istilah radikal dengan ramah, terdidik dan berakal dengan alasan definisi radikal sendiri tidak pernah jelas dan clear.
Al hasil di tahun 2019 dua kata yakni radikal dan khilafah menjadi dua kata yang paling banyak dibincangkan oleh rakyat Indonesia, bahkan mungkin dunia. Meskipun khilafah lantas difitnah sebagai ajaran radikal oleh musuh-musuh Allah, namun hal ini justru telah memantik masyarakat dunia untuk lebih jauh mempelajari Islam.
Mereka mencoba memadamkan cahaya Allah, namun Allah justru makin menyalakan cahayaNya. Mereka mencoba untuk melakukan makar kepada agama Allah, namun Allah justru menunjukkan makarnya yang lebih hebat. Bahkan para peneriak Pancasila dan pembenci khilafah, satu persatu terjerat tindak korupsi. Para pembenci khilafah dengan tuduhan ajaran radikal hanyalah manusia bodoh yang jahat.
Para pembeci ajaran Islam ini bahkan telah ada sejak dahulu kala. Adalah wajar jika dahulu fir’aun sangat takut dan membenci ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Musa, sebab Fir’aun termasuk kaum kafir yang mendurhakai Allah. Puncak pembangkangan dan kecongkakan fir’aun adalah pengakuan dirinya sebagai tuhan.
Adalah wajar jika abu lahab dan abu jahal sangat takut dan membenci ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah, sebab mereka adalah dedengkot kafir Quraisy penyembah berhala warisan nenek moyang mereka. Puncak kebencian mereka kepada Islam dan Rasulullah ditunjukkan dengan upaya pembunuhan kepada Rasulullah.
Dulu Nabi SAW yang mulia pernah disebut sebagai sebagai orang gila (QS al-Hijr: 6), tukang sihir (QS Shad: 4), penyair gila (QS Shaffat: 37), bahkan Rasulullah dituduh sebagai pemecah-belah persatuan kaumnya. Ini adalah fakta sejarah yang tak mungkin dibantah.
Tak ada bedanya dengan hari ini, berbagai upaya kriminalisasi ulama dilancarkan oleh musuh-musuh Allah dengan tuduhan intoleran, anti kebhinekaan dan radikal. Bahkah upaya mencelakai, mengancam dan hingga pembunuhan para kyai telah lama terjadi di negeri ini. Puncaknya adalah kriminalisasi ajaran khilafah dengan tuduhan sebagai ajaran radikal.
Asal-usul kata khilâfah kembali pada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa. Al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H) mengungkapkan: fulân[un] yakhlufu fulân[an] fî ‘iyâlihi bi khilâfat[in] hasanat[in]; yang menggambarkan estafeta kepemimpinan. Hal senada diungkapkan oleh al-Qalqasyandi (w. 821 H).Salah satu contohnya dalam QS al-A’raf [7]: 142.
Al-Qalqasyandi menegaskan bahwa Khilafah secara ’urf lantas disebut untuk kepemimpinan agung, memperkuat makna syar’i-nya yang menggambarkan kepemimpinan umum atas umat, menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya.
Namun, bukan sembarang kepemimpinan, melainkan kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam memelihara urusan agama ini, dan mengatur urusan dunia dengannya. Ini ditegaskan oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H), Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H) dan para ulama lainnya.
Dengan kata lain, kepemimpinan dengan ruh Islam ini menjadi menjadi ciri khas mulia; berbeda dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka. Inilah yang diungkapkan Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani.
Beliau menjelaskan makna syar’i Khilafah yang digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah adalah: kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (yakni mengemban dakwah dengan hujjah dan jihad).
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam.
Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”
Masyarakat dalam daulah ibarat penumpang sebuah kapal. Kapal itu ibarat universalitas Islam yang dengan sistem nilainya mampu menampung segala manusia dari berbagai ragam yang melekat pada dirinya. Selama manusia itu bisa memberikan ketaatan kepada nilai-nilai agung Islam, maka manusia akan mendapatkan kehidupan yang damai dan sejahtera. Sebab Islam lahir untuk mengubah berbagai bentuk kezoliman menjadi kemuliaan.
Syariah dan Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Islam dan rangkaian ajaran syariahnya, termasuk Khilafah, bukanlah musuh negeri ini. Musuh sejati negara saat ini adalah Kapitalisme-Liberalisme. Inilah yang secara nyata semakin memperpuruk kehidupan bangsa.
Karena itu upaya monsterisasi syariah dan khilafah sebagai ajaran radikal merupakan fitnah keji akhir zaman. Padahal tegaknya khilafah sebagai fase kelima sebagaimana hadist Rasul merupakan janji Allah yang pasti akan tegak. Mengingkarinya berarti mengingkari janji Allah dan dan kabar dari RasulNya.
(AhmadSastra,KotaHujan,31/12/19 : 23.00 WIB)
__________________________________________
Website : https://www.ahmadsastra.com
Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1
Facebook : https://facebook.com/sastraahmad
FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76
Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial
Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
DUA KATA PALING POPULER 2019 : RADIKAL DAN KHILAFAH
Selasa, Desember 31, 2019
0
Tags