Oleh : Ahmad Sastra
Meski sejarah revolusi industri 4.0 yang tercetus tahun 2011 dalam acara Hannover Trade Fair terkait erat dengan adanya inovasi baru dalam proses produksi, namun faktanya gelombang revolusi ini berimbas ke sektor lain, seperti pendidikan. Bagaimana pesantren menyikapinya ?.
Pesantren adalah lembaga pendidikan khas berbasis nilai-nilai Islam tertua di Indonesia. Jika merujuk kepada pendapat Ahmad Mansur Suryanegara, bahwa kelahiran cikal bakal pesantren sebagai basis penggalian nilai-nilai ajaran Islam bersamaan dengan datangnya Islam ke nusantara, yakni abad ke 7.
Dengan demikian pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang bertahan selama lebih dari 13 abad. Meskipun menurut Martin Van Bruinessen asal usul dan kapan persisnya munculnya pesantren di Indonesia belum bisa diketahui dengan pasti. Sementara Pigeud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren sudah ada semenjak abad ke 16.
Namun demikian tidak bisa dipungkiri fakta bahwa ada pesantren yang tidak bertahan lama. Ada beberapa pesantren yang justru ditutup sepeninggal kyainya. Hal ini bisa disebabkan karena adanya budaya figuritas minus manajemen. Tidak semua pesantren seperti itu, namun sepeninggal sang Kyai, ada pesantren yang ikut mati.
Secara fundamental, pesantren dibangun oleh tiga pilar utama, yakni kepemimpinan, nilai dan sistem manajemen. Kepemimpinan kyai sesungguhnya adalah persoalan yang temporal, sebab kyai pada akhirnya akan meninggal dunia. Sedangkan nilai-nilai Islam adalah sesuatu yang lebih abadi dan tidak berubah. Sementara sistem manajemen adalah aspek yang bisa berubah dan akan terus berkembang menyesuaikan perkembangan zaman.
Di era revolusi industri 4.0 dimana pesantren juga akan kena imbasnya harus diantisipasi dengan baik. Pendekatan konvensional atas menajemen keuangan, pemasaran, SDM, dan pendidikan akan menghambat perkembangan kelembagaan, mengingat masyarakat telah akrab dengan teknologi informasi.
Pesantren harus sudah mulai berbenah dan memasuki dunia digital agar bisa diakses lebih luas dan efektif bagi para pengguna jasa pendidikan. Mempromosikan pesantren dengan memasang spanduk di pinggir jalan tidak salah, namun untuk era 4.0 sudah tidak efektif dan tidak efisien lagi.
Pola pemasaran dan keuangan harus mulai dilakukan lewat on line (virtual account) dalam arti masyarakat bisa mengakses, mendaftar dan membayar biaya secara digital. Masyarakat perkotaan profesional menuntut proses yang efisien dalam melakukan segala transaksi. Pesantren harus bisa mengadopsi digitalisasi manajemen ini dengan optimal dan profesional.
Masyarakat digital adalah fakta yang tak mungkin dihindari. Gagasan revolusi industri 4.0 yang awalnya digagas oleh Jerman tahun 2011, kini berimbas ke Amerika pada tahun 2015 dengan menggerakkan Smart Manufacturing Leadership Coalition (SMLC) yang terdiri dari produsen, lembaga pemerintah, pemasok, perusahaan teknologi, universitas serta lembaga penelitian.
Maka tidak ada salahnya jika pesantren di era revolusi 4.0 mulai membangun jejaring produktif dengan berbagai elemen sosial yang memingkinkan akan memajukan kelembagaan. Pesantren harus mulai ada jaringan dengan masyarakat di seluruh pelosok nusantara dan dunia. Pesantren juga membangun jejaring dengan universitas di seluruh dunia sebagai jaminan lulusan pesantren yang akan melanjutkan pendidikan.
Pesantren juga harus membangun jaringan dengan dunia bisnis dalam rangka membangun sektor kemandirian ekonomi. Tidak ada salahnya jika pesantren memiliki perusahaan untuk memenuhi kebutuhan santri dan masyarakat. Meskipun core pesantren adalah pendidikan, sosial dan dakwah. Sudah banyak pesantren yang mandiri secara ekonomi, tinggal pola jaringannya yang harus terus diperbaharui.
Soal kepemimpinan kyai di pesantren adalah faktor fundamental yang tidak mungkin bisa berubah dalam konteks nilai-nilai. Namun mengingat kyai adalah manusia yang akan meninggal, maka pola kederisasi yang profesional adalah mutlak. Pesantren yang berbasis wakaf, biasanya pola kaderisasi lebih bersifat terbuka karena berbasis sistem manajemen profesional.
Kepemimpinan pesantren di era 4.0 menghajatkan sebuah kepemimpinan visioner tanpa menghilangkan nilai-nilai kepesantrenan. Tradisi ilmu, dakwah, ibadah, adab, dan berjamaah adalah nilai-nilai yang tidak bisa dihilangkan dalam dunia pesantren. Namun, pimpinan pesantren harus punya kepekaan atas perkembangan dunia yang makin cepat, sehingga lahirlah gagasan-gagasan inovatif darinya.
Sistem manajemen pendidikan yang terkait dengan keuangan, SDM, pemasaran dan kehumasan harus ditata ulang oleh pimpinan pesantren di era 4.0. pesantren harus membangun sistem manajemen yang kuat dna profesional. Seorang kyai harus tetap menjaga nilai, namun tidak alergi dengan perkembangan sains dan teknologi.
Nilai-nilai di pesantren seperti sholat berjamaah, keteladanan guru, disiplin, keikhlasan, kemandirian, ukhuwah, dan kesederhanaan adalah hal pokok yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Revolusi industri 4.0 harus disikapi oleh pesantren dalam konteks perbaikan sistem manajemen dengan pendekatan inovasi, kreativitas, efektivitas dan efisiensi.
Sumber daya manusia pesantren harus secara serius ditingkatkan kompetensi kreativitas, komunikasi, kolaborasi, dan gagasan visioner. Tanpa meninggalkan nilai-nilai yang telah menjadi Sunnah pondok, para pendidik di pesantren harus tampil sebagai tenaga pendidik profesional dan saintifik.
Tugas pesantren di era 4.0 memang berat, selain harus mengurus dirinya agar bisa bertahan dalam era disrupsi, pesantren juga harus mampu menunjukkan sebagai representasi pendidikan Islam yang tak lapuk oleh gerus zaman. Selain itu pesantren juga merupakan salah satu benteng untuk membangun peradaban Islam di masa mendatang.
(AhmadSastra,KotaHujan,21/11/19 : 14.44 WIB)
__________________________________________
Website : www.ahmadsastra.com | Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 |
Facebook : http://facebook.com/sastraahmad | FansPage: http://facebook.com/ahmadsastra76 |
Channel Telegram : http://t.me/ahmadsastraofficial |
Instagram : https://www.instagram.com/sastraahmad
[10:26:30