Sistem Demokrasi, Makin Membodohkan Rakyat
Oleh : Ahmad Sastra
Mencerdaskan kehidupan bangsa menurut Undang-undang adalah bangsa yang beriman, bertaqwa dan berakhlak
(Irman Putra Siddin, ILC 24/09/19)
Meski amanah UUD di negeri ini salah satunya mewujudkan kecerdasan kehidupan bangsa, namun definisi kecerdasan itu sendiri tak pernah disebutkan dengan benar. Jikapun ada, maka kecerdasan sekuleristik yang justru dibangun.
Memisahkan kecerdasan dengan kesadaran agama adalah kecerdasan sekuleristik, dimana IQ yang hanya dijadikan ukuran. Akibatnya , banyak manusia yang memiliki IQ tinggi dengan gelar yang lengkap, namun terkadang masih terlibat berbagai tindak pidana.
Jika definisi kecerdasan telah salah sejak awal, maka yang lahir adalah manusia yang hanya mengandalkan otak, namun abai terhadap akal dan hati. Akibatnya muncullah generasi yang hanya bisa akal-akalan, yakni memanfaatkan otak untuk menipu dan berbuat curang.
Buktinya, para koruptor kelas kakap adalah yang juga menyenyam pendidikan tinggi. Minimnya hubungan transendental telah menjadikan bangsa ini hanya mengutamakan kecerdasan kuantitatif minus kecerdasan kualitatif. Mengutakan angka tapi mengabaikan nilai. Membanggakan IQ tapi menafikan moral. Itulah kecerdasan ala demokrasi sekuler.
Konsepsi kecerdasan ala demokrasi sekuler sangat berbeda dengan konsepsi kecerdasan menurut Islam. Manusia yang cerdas menurut Islam adalah yang mampu mengoptimalkan akalnya untuk memikirkan segala ciptaan Allah [manusia, alam semesta, dan kehidupan] sebagai cara mengabdi kepada Allah dengan membangun peradaban mulia dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
Manusia cerdas menurut Islam adalah mereka yang beriman dan bertaqwa dan memanfaatkan potensi dirinya agar menjadi seorang khalifah di muka bumi. Khalifah di muka bumi adalah agen peradaban bagi kehidupan bangsa yang mulia. Seluruh pola fikir dan pola sikap ditimbang berdasarkan perintah dan larangan Allah. Bukan sekedar manfaat, sebagaimana demokrasi sekuler.
Manusia-manusia cerdas dalam Islam di sebut sebagai generasi ulil Al Baab, yakni mereka yang senantiasa berfikir sekaligus berzikir. Berfikir dalam arti berkarya membangun peradaban bangsa sebagai bentuk pengabdian dan ketundukan kepada hukum dan syariat Allah, bukan merusak hidup dan kehidupan bangsa.
Dalam Al Qur’an kata ulil albab disebutkan sebanyak 16 kali, diantaranya QS Al Baqarah : 179, 197, dan 269. Ali Imran : 7 dan 190, Ibrahim : 52, Al Ra’d : 19, Al Mukmin : 54, Shad : 29 dan 43, Al Maidah : 100, Yusuf : 111, Al Zumar : 9, 18 dan 21, Al Thalaq : 10.
Secara normatif, Islam satu-satunya ideologi yang bisa mewujudkan visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara faktanya kekuasaan demokrasi sekuler justru telah dengan jelas mewujudkan kebodohan bangsa. Manusia bodoh adalah manusia jahiliyah yang tidak taat dan tunduk kepada Allah, yakni mereka yang maksiat. Zaman jahiliyah dahulu merujuk kepada perilaku buruk semacam ini.
Kekuasaan demokrasi sekuler memisahkan antara kekuasaan dengan agama, sementara Islam mengintegrasikan antara kekuasaan dengan agama [materi dan ruh]. Imam Al Ghazali menegaskan relasi kekuasaan dengan agama dengan menyatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah saudara kembar.
Lebih jauh lagi, Imam Al Ghazali menyatakan bahwa agama adalah pondasi bangunan, dan kekuasaan adalah penjaganya. Bangunan yang tidak ada pondasinya akan ambruk, sementara jika tak ada penjaganya, maka akan lenyap. Sebab itu, kekuasaan demokrasi dipastikan akan segera ambruk.
Setidaknya ada tujuh ciri generasi cerdas ulil al baab berdasarkan apa yang telah difirmankan Allah dalam al Qur’an. Ketujuh karakter ulil albaab ini bertentangan dengan kehidupan bangsa yang dilandasi oleh ideologi demokrasi sekuler.
BERFIKIR DAN BERZIKIR. Islam membangun bangsa yang senantiasa berfikir sekaligus berzikir. Zikir dalam arti luar yakni mengkaitkan segala ucapan, perbuatan dan aspek peradaban dengan nilai-nilai Islam. Peradaban Islam adalah relasi antara tafakkur (penelaahan, penelitian dan nazhar) alam semesta, manusia dan kehidupan dengan kesadaran spiritual. Sementara demokrasi menganjurkan berfikir tanpa zikir, akibatnya lahirlah peradaban materialisme.
BANGSA PEMBELAJAR. Kekuasaan Islam menghendaki rakyatnya bersungguh-sungguh menuntut ilmu sehingga mencapai tingkat rashih (mendalam) sebagaimana dinyatakan Al Qur'an dalam surat QS Ali Imran : 7. Sementara kekuasaan demokrasi justru merusak ilmu sehingga melahirkan bangsa yang berilmu namun sekuler. Inilah bedanya antara islamisasi dengan sekulerisasi.
PEMISAH ANTARA HAQ DAN BATIL. Kekuasaan Islam menimbang segala sesuatu didasarkan oleh perintah dan larangan Allah, halal dan haram, haq dan batil. Kekuasaan Islam mencerdaskan bangsanya dengan kemampuan memisahkan yang buruk (khabits) dan yang baik (thayib) kemudian dia memilih, berpihak, dan mempertahankan yang baik itu meskipun sendirian. Sementara demokrasi sekuler justru sebaliknya, yang baik menurut agama dinyatakan buruk, sementara yang buruk menurut agama justru dinyatakan baik. Demokrasi sekuler mewujudkan bangsa yang bodoh dan jahiliyah.
MASYARAKAT KRITIS DAN SOLUTIF. Kekuasaan Islam mampu mewujudkan masyarakat yang kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi ataupun dalil dan argumentasi yang dikemukakan orang lain dan senantiasa memilih alternatif yang terbaik (ahsanah) [QS Az Zumar : 18]. Sementara kekuasaan demokrasi menjebak manusia dalam kubangan pragmatisme dan gila kekuasaan, sehingga menghilangkan daya kritis. Potret kebodohan sering dipamerkan oleh orang-orang yang terlanjur menikmati kekuasaan demokrasi.
MASYARAKAT KONSTRUKTIF. Islam menganjurkan umatnya bersedia mendakwahkan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat, senantiasa berusaha memperbaiki masyarakat dan lingkungannya, memiliki kesadaran yang tinggi kegiatan amar ma'ruf nahi mungkar [QS Ibrahim : 52]. Sementara kekuasaan demokrasi justru sebaliknya, berbagai kebijakannya justru bertentangan dengan Islam sehingga melahirkan masyarakat yang destruktif.
MASYARAKAT BERTAQWA. Islam dengan syariatnya mewujudkan masyarakat yang tidak takut kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah [QS At Taubah : 18]. Masyarakat muslim berani membela kebenaran dan takut berbuat maksiat. Masyarakat demokrasi sebaliknya, menyuarakan kebatilan dan tidak takut kepada Allah saat bermaksiat, namun takut kepada polisi dan KPK.
MASYARAKAT BERIBADAH. Islam mewajibkan umatnya untuk senantiasa ruku’ dan sujud pada sebagian malamnya, merintih pada Allah dan semata-mata hanya mengharapkan rahmat dan ridhaNya [QS Az Zumar : 9]. Sementara kekuasaan demokrasi senantiasa mendorong rakyatnya hanya berorientasi kepada duniawi semata. Padahal kecerdasan adalah saat berorientasi akherat dan kebodohan adalah saat hanya berorientasi duniawi.
Karena itu, hanya Islam yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, sementara demokrasi justru telah menciptakan bangsa bodoh yang kehidupannya tidak terikat dengan hukum dan aturan Allah. Padahal kemaksiatan akan mendatangnya bencana dan azab Allah. Lihatlah bencana alam yang datang silih berganti menimpa negeri ini.
Sementara masyarakat cerdas yang beriman dan bertaqwa akan mendatangnya pertolongan dan keberkahan hidup dari Allah.
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).
[AhmadSastra,KotaHujan,26/09/19 : 10.30 WIB]
__________________________________________
Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad